Selasa, 13 Mei 2008

Dakwah Islam dan Keberpihakan HMI Dalam Perubahan Sosial

Pengantar
Dakwah merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus “diluruskan” agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi “penyakit” kolektif. Masyarakat harus dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain. Realitas sosial memang selalu membutuhkan tuntunan spiritual agar sejalan dengan petunjuk Tuhan.
Kaum Muslim, sejak Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah Islam hingga zaman modern ini, telah dijadikan sebagai umat terbaik karena peran mereka dalam perubahan sosial. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS Al-Imran [3]:110).
Ayat 110 surat Ali Imran di atas, menurut Kuntowijoyo memiliki tiga dimensi nilai, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia. Hal ini seiring dengan dehumanisasi karena laju masyarakat industrial, di mana masyarakat berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Liberasi bertujuan untuk membebaskan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan. Sedangkan transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
Dengan konsep ISP, Kunto berobsesi untuk melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga dari wahyu. Atas dasar itu, Kuntowijoyo kemudian merumuskan apa yang disebut sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP merupakan salah satu dari sekian banyak pemikiran dan gagasan keislaman Kunto. Menurutnya, ilmu sosial ini tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu ini tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. ISP secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat, yaitu: humanisasi, liberalisasi, dan transendensi.
Karena konsep ISP itu, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (1995) memasukkan Kunto ke dalam kategori pemikiran “Islam Transformatik”. Yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu, Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar. Secara praksis, transformasi ini bukanlah pada aspek-aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lain sebagainya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Konsep Dakwah dan Perubahan Sosial
Menurut Sayyid Qutb, umat Islam harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan, karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan. Karena itu, kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar.
Inilah kewajiban mereka sebagai konsekwensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Menempati posisi khairu ummah (sebaik-baik umat) bukanlah karena berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan, dan serampangan. Posisi ini adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaaran dan menegakkannya di atas yang makruf disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang makruf dan mana yang munkar itu. Kegiatan itu harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan terhadap tata nilai dan untuk mengetahui dengan benar mengenai yang makruf dan yang munkar. (Tafsir fi Zhilalil Qur’an, II: 128).
Amar makruf nahi munkar merupakan proyek jangka panjang kaum Muslim, karena kehidupan dunia ini tak akan bebas dari kemunkaran serta manusia pun tak akan sempurna melakukan kebajikan. Selama dunia ini berputar, maka selama itu pula kemunkaran berlangsung dan manusia tak akan pernah sempurna berbuat kebaikan. Diutusnya para nabi dan rasul yang misi dakwahnya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran membuktikan bahwa kemunkaran akan terus menyelimuti perilaku masyarakat dan baiknya perilaku masyarakat senantiasa memerlukan peringatan dan pembinaan.
Para dai harus menyadari bahwa dakwah memerlukan kesabaran. Mereka tak perlu terlalu berambisi agar masyarakat semua Islam dan baik beragamanya. Mereka hanya bertugas untuk menyampaikan risalah Islam yang mereka yakini kebenarannya. Dakwah harus digunakan sebagai cara melakukan transformasi sosial (perubahan sosial). Oleh karena itu, para dai harus memiliki komitmen dan semangat yang terus bergelora dalam menyuarakan kebenaran. Tanpa harus memaksa orang untuk ikut ajakannya, seorang dai dituntut menjaga kesucian hatinya.
Dalam aktivitas perubahan sosial itu, memang tidak semua audien atau sasaran dakwah bisa menerima dengan lapang dada. Kelompok yang menentang atau berusaha menghambat dakwah adalah mereka yang benci terhadap Islam atau yang masih “keras hatinya”, terutama dari kalangan konglomerat. Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS Al-Isra [17]: 16).
“Orang-orang yang hidup mewah” ini bisa dari kalangan pejabat negara atau para elit swasta. Mungkin dalam konteks Indonesia, yang dimaksud adalah pejabat korup dan konglomerat hitam yang dengan sengaja memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat demi meraup keuntungan pribadi dan kroninya. Perilaku elit ini bukan hanya menjadi tantangan para dai yang hanya mengandalkan suara moral, tetapi juga aparat penegak hukum. Mereka inilah tantangan paling berat yang dihadapi para dai dalam menjalankan misinya. Menghadapi kelompok ini, para dai dituntut untuk siap berkorban, baik jiwa, raga, maupun harta dengan sampainya ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, diperlukan figur dai yang mempunyai semangat jihad tinggi; mereka siap menghadapi segala resiko di medan perjuangan serta konsisten menyampaikan kebenaran.
Jika kita mengacu pada rumusan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, tampaknya misi dakwah Islam dengan segala tantangan yang dihadapinya bertujuan untuk “memulihkan sisi-sisi dasar manusia yang paling hakiki”. Artinya, perilaku-perilaku manusia yang menyimpang dari aturan-aturan Islam bukan hanya “menodai” dirinya, tetapi juga akan mengganggu hak-hak asasi orang lain. Penegasan Al-Quran mengenai “orang-orang yang hidup mewah” baik dari kalangan pejabat maupun swasta, sebagai tantangan dakwah sangat logis, mengingat gerakan langkah mereka yang serakah akan merampas hak-hak yang lain.
Dengan demikian, dalam kegiatan dakwah, para dai tidak cukup hanya menyampaikan ajaran Islam di atas mimbar, tetapi mereka harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan dan semangat moral atas problem hidup yang mereka hadapi. Mereka juga harus berani mengatakan kebenaran terhadap para penguasa yang zalim dan pengusaha yang serakah agar kembali ke jalan yang benar. Sebab, kezaliman dan keserakahan itu akan merusakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dakwah yang harus dilakukan adalah dakwah humanis sebagai kegiatan dakwah yang berorientasi pada perlindungan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia, dan pada saat yang sama, nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, serta kebebasan dapat tegak. Dalam dakwah yang humanis, seorang dai tidak cukup hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan

Keberpihakan HMI
Adalah Eric Hobsbawm yang meyakini bahwa semua gerakan sosial (termasuk gerakan keagamaaan) yang terdapat saat ini lahir atas respon dari kondisi sosial yang menindas. Hal ini diungkapkan Hobsbawm melalui hasil penelitiannya tentang gerakan sosial yang dipublikasikan dalam buku Primitive Rebels: Studies in the Arabic Forms of Sosial Movement in the Nineteenth and Twenteth Centuries (1971). Dalam hal ini kemunculan HMI sebagai gerakan mahasiswa berangkat dari iklim sosial dan budaya yang berbeda yang secara perlahan menjadi perlawanan.
Perubahan sosial merupakan fenomena sejarah dan peradaban yang semakin mempertegas posisi individu sehingga sering harus berhadapan dengan pelembagaan modern. Hubungan individu dengan masyarakat sebagai lembaga pun semakin rumit. Demikian pula hubungan kader HMI dengan HMI secara kelembagaan. Kompleksitas demikian akan berkaitan dengan masalah kebangsaan dan kemanusiaan global serta berbagai bidang budaya, iptek, sosial, ekonomi dan politik serta religiusitas.
Persoalannya tidak terbatas bagaimana menyelenggarakan kepentingan HMI dan individu sekaligus, tetapi bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan individual sebagai basis gerakan HMI. Dimasa depan hubungan HMI dan kenegaraan serta kemasyarakatan akan lebih terbuka. Sementara tuntutan kualitas individu warga terutama kader HMI menjadi landasan penyelesaian persoalan obyektif hidup modern dengan segala persyaratan profesional khususnya dunia kerja dan kemanusiaan.
Searah dengan kerangka teoritis masyarakat modern dan berkemajuan partisipasi individu dalam kehidupan masyarakat dan organisasional kelembagaan akan semakin kritis. Partisipasi kritis tidak saja bersifat eksternal, tetapi juga dalam hubungan lembaga kemasyarakatan secara internal serta dalam kehidupan negara bangsa indonesia. Kecenderungan demikian sering mengancam basis fundamental eksistensi kelembagaan, sementara daya kritis individu merupakan basis fundamental kehidupan masyarakat yang semakin kokoh. Persoalan kehidupan masa depan adalah bagaimana mengembangkan suatu kerangka teoritis yang lebih memberi peluang semakin luas pengembangan kualitas individu secara kritis dan terbuka.
Di masa depan, keberadaan dan kehidupan lembaga kemahasiswaan seperti HMI, memerlukan kebijakan intelektual sesuai kecenderungan masyarakatnya. Masa depan HMI tergantung sejauh mana kadernya baik secara kelembagaan maupun personal memanfaatkan peluang iptek dan perubahan masyarakat secara maksimal dengan mengembangkan kemampuan intelektual yang berwawasan kemanusiaan. Pemenuhan tanggungjawab demikian adalah merupakan realisasi operasional pesan moral ajaran Islam yang seluruhnya merupakan kepeduliaan pada masalah kemanusiaan. Karena itu kaderisasi harus dapat mengembangkan kualitas personal dan kelembagaan sekaligus.
Dalam kerangka kehidupan negara bangsa yang semakin terbuka dan global berbagai konsep dan strategi gerakan perlu ditinjau secara kritis. Perlu dikembangkan basis rasional (Paradigma) yang baru atas program dan strategi gerakan melalui pemikiran ulang yang kritis berbagai program yang dapat disusun secara konseptual, analitis dan fungsional. Kurang berkembangnya kegiatan alternatif dan kreatif yang mampu menggerakkan partisipasi seluruh lapisan pimpinan dan anggota perlu dipecahkan dengan mengembangkan sikap kritis terhadap tradisi dan pengembangan kemampuan profesional sesuai tuntutan obyektif yang dihadapi.
Secara teknis masalah kemanusiaan dan masyarakat bangsa hendaknya menjadi perhatian serius. Beberapa program mungkin dapat dikembangkan seperti; penyiapan kader memasuki pasaran kerja secara kompetitif dan profesional dalam berbagai ragam dunia usaha. Secara ideologis, kader intelektual HMI harus memiliki ketrampilan dakwah seperti membaca do’a, khutbah, tabligh dan manajemen gerakan yang minimal memerlukan kemampuan membaca Al-Qur’an.
Perlu lebih dikembangkan kegiatan secara terprogram agar seluruh anggota HMI dapat mengembangkan kualitas personal yang mampu menumbuhkan kewibawaan sosial. Berbagai ketrampilan kerja teknis harus menjadi program andalan disamping kemampuan memahami sumber ajaran Islam. Seperti juga pengembangan kemampuan dan ketrampilan menulis karya ilmiah, pengembangan jaringan pemasaran dan lain-lain. Seluruhnya dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya kader dalam berbagai bidang disiplin, sehingga dapat dikemas suatu program yang dapat membangkitkan minat anggota dan masyarakat untuk ikut serta.
Demikian pula pola rekruitmen dan kaderisasi dikembangkan lebih memberikan peluang bagi pengembangan intelektual dan ketrampilan teknologis. Untuk itu setidaknya diperlukan kemampuan penguasaan bahasa dan penguasaan kemampuan metodologis. Penguasaan bahasa merupakan alat memanfaatkan peluang yang luas dalam memenuhi keharusan sejarah mengembangkan intelektualitas, wawasan kebangsaan dan dunia serta peradaban. Selanjutnya perlu mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan hasil pemikiran baik secara verbal maupun amat penting menyampaikan hasil pemikiran melalui karya tulis. Akhirnya, kader HMI secara niscaya memerlukan kemampuan menganalisis berbagai bidang perkembangan kehidupan masyarakat baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya dan iptek disamping kemampuan profesional teknologis sebagai media memasuki dunia kerja secara kompetitif serta dunia sosial kemanusiaan.

Makalah ini disampaikan pada Latihan Kader II HMI di Depok, 28 Desember 2007