Selasa, 13 Mei 2008

Dakwah Islam dan Keberpihakan HMI Dalam Perubahan Sosial

Pengantar
Dakwah merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus “diluruskan” agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi “penyakit” kolektif. Masyarakat harus dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain. Realitas sosial memang selalu membutuhkan tuntunan spiritual agar sejalan dengan petunjuk Tuhan.
Kaum Muslim, sejak Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah Islam hingga zaman modern ini, telah dijadikan sebagai umat terbaik karena peran mereka dalam perubahan sosial. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS Al-Imran [3]:110).
Ayat 110 surat Ali Imran di atas, menurut Kuntowijoyo memiliki tiga dimensi nilai, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia. Hal ini seiring dengan dehumanisasi karena laju masyarakat industrial, di mana masyarakat berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Liberasi bertujuan untuk membebaskan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan. Sedangkan transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
Dengan konsep ISP, Kunto berobsesi untuk melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga dari wahyu. Atas dasar itu, Kuntowijoyo kemudian merumuskan apa yang disebut sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP merupakan salah satu dari sekian banyak pemikiran dan gagasan keislaman Kunto. Menurutnya, ilmu sosial ini tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu ini tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. ISP secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat, yaitu: humanisasi, liberalisasi, dan transendensi.
Karena konsep ISP itu, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (1995) memasukkan Kunto ke dalam kategori pemikiran “Islam Transformatik”. Yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu, Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar. Secara praksis, transformasi ini bukanlah pada aspek-aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lain sebagainya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Konsep Dakwah dan Perubahan Sosial
Menurut Sayyid Qutb, umat Islam harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan, karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan. Karena itu, kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar.
Inilah kewajiban mereka sebagai konsekwensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Menempati posisi khairu ummah (sebaik-baik umat) bukanlah karena berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan, dan serampangan. Posisi ini adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaaran dan menegakkannya di atas yang makruf disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang makruf dan mana yang munkar itu. Kegiatan itu harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan terhadap tata nilai dan untuk mengetahui dengan benar mengenai yang makruf dan yang munkar. (Tafsir fi Zhilalil Qur’an, II: 128).
Amar makruf nahi munkar merupakan proyek jangka panjang kaum Muslim, karena kehidupan dunia ini tak akan bebas dari kemunkaran serta manusia pun tak akan sempurna melakukan kebajikan. Selama dunia ini berputar, maka selama itu pula kemunkaran berlangsung dan manusia tak akan pernah sempurna berbuat kebaikan. Diutusnya para nabi dan rasul yang misi dakwahnya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran membuktikan bahwa kemunkaran akan terus menyelimuti perilaku masyarakat dan baiknya perilaku masyarakat senantiasa memerlukan peringatan dan pembinaan.
Para dai harus menyadari bahwa dakwah memerlukan kesabaran. Mereka tak perlu terlalu berambisi agar masyarakat semua Islam dan baik beragamanya. Mereka hanya bertugas untuk menyampaikan risalah Islam yang mereka yakini kebenarannya. Dakwah harus digunakan sebagai cara melakukan transformasi sosial (perubahan sosial). Oleh karena itu, para dai harus memiliki komitmen dan semangat yang terus bergelora dalam menyuarakan kebenaran. Tanpa harus memaksa orang untuk ikut ajakannya, seorang dai dituntut menjaga kesucian hatinya.
Dalam aktivitas perubahan sosial itu, memang tidak semua audien atau sasaran dakwah bisa menerima dengan lapang dada. Kelompok yang menentang atau berusaha menghambat dakwah adalah mereka yang benci terhadap Islam atau yang masih “keras hatinya”, terutama dari kalangan konglomerat. Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS Al-Isra [17]: 16).
“Orang-orang yang hidup mewah” ini bisa dari kalangan pejabat negara atau para elit swasta. Mungkin dalam konteks Indonesia, yang dimaksud adalah pejabat korup dan konglomerat hitam yang dengan sengaja memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat demi meraup keuntungan pribadi dan kroninya. Perilaku elit ini bukan hanya menjadi tantangan para dai yang hanya mengandalkan suara moral, tetapi juga aparat penegak hukum. Mereka inilah tantangan paling berat yang dihadapi para dai dalam menjalankan misinya. Menghadapi kelompok ini, para dai dituntut untuk siap berkorban, baik jiwa, raga, maupun harta dengan sampainya ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, diperlukan figur dai yang mempunyai semangat jihad tinggi; mereka siap menghadapi segala resiko di medan perjuangan serta konsisten menyampaikan kebenaran.
Jika kita mengacu pada rumusan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, tampaknya misi dakwah Islam dengan segala tantangan yang dihadapinya bertujuan untuk “memulihkan sisi-sisi dasar manusia yang paling hakiki”. Artinya, perilaku-perilaku manusia yang menyimpang dari aturan-aturan Islam bukan hanya “menodai” dirinya, tetapi juga akan mengganggu hak-hak asasi orang lain. Penegasan Al-Quran mengenai “orang-orang yang hidup mewah” baik dari kalangan pejabat maupun swasta, sebagai tantangan dakwah sangat logis, mengingat gerakan langkah mereka yang serakah akan merampas hak-hak yang lain.
Dengan demikian, dalam kegiatan dakwah, para dai tidak cukup hanya menyampaikan ajaran Islam di atas mimbar, tetapi mereka harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan dan semangat moral atas problem hidup yang mereka hadapi. Mereka juga harus berani mengatakan kebenaran terhadap para penguasa yang zalim dan pengusaha yang serakah agar kembali ke jalan yang benar. Sebab, kezaliman dan keserakahan itu akan merusakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dakwah yang harus dilakukan adalah dakwah humanis sebagai kegiatan dakwah yang berorientasi pada perlindungan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia, dan pada saat yang sama, nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, serta kebebasan dapat tegak. Dalam dakwah yang humanis, seorang dai tidak cukup hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan

Keberpihakan HMI
Adalah Eric Hobsbawm yang meyakini bahwa semua gerakan sosial (termasuk gerakan keagamaaan) yang terdapat saat ini lahir atas respon dari kondisi sosial yang menindas. Hal ini diungkapkan Hobsbawm melalui hasil penelitiannya tentang gerakan sosial yang dipublikasikan dalam buku Primitive Rebels: Studies in the Arabic Forms of Sosial Movement in the Nineteenth and Twenteth Centuries (1971). Dalam hal ini kemunculan HMI sebagai gerakan mahasiswa berangkat dari iklim sosial dan budaya yang berbeda yang secara perlahan menjadi perlawanan.
Perubahan sosial merupakan fenomena sejarah dan peradaban yang semakin mempertegas posisi individu sehingga sering harus berhadapan dengan pelembagaan modern. Hubungan individu dengan masyarakat sebagai lembaga pun semakin rumit. Demikian pula hubungan kader HMI dengan HMI secara kelembagaan. Kompleksitas demikian akan berkaitan dengan masalah kebangsaan dan kemanusiaan global serta berbagai bidang budaya, iptek, sosial, ekonomi dan politik serta religiusitas.
Persoalannya tidak terbatas bagaimana menyelenggarakan kepentingan HMI dan individu sekaligus, tetapi bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan individual sebagai basis gerakan HMI. Dimasa depan hubungan HMI dan kenegaraan serta kemasyarakatan akan lebih terbuka. Sementara tuntutan kualitas individu warga terutama kader HMI menjadi landasan penyelesaian persoalan obyektif hidup modern dengan segala persyaratan profesional khususnya dunia kerja dan kemanusiaan.
Searah dengan kerangka teoritis masyarakat modern dan berkemajuan partisipasi individu dalam kehidupan masyarakat dan organisasional kelembagaan akan semakin kritis. Partisipasi kritis tidak saja bersifat eksternal, tetapi juga dalam hubungan lembaga kemasyarakatan secara internal serta dalam kehidupan negara bangsa indonesia. Kecenderungan demikian sering mengancam basis fundamental eksistensi kelembagaan, sementara daya kritis individu merupakan basis fundamental kehidupan masyarakat yang semakin kokoh. Persoalan kehidupan masa depan adalah bagaimana mengembangkan suatu kerangka teoritis yang lebih memberi peluang semakin luas pengembangan kualitas individu secara kritis dan terbuka.
Di masa depan, keberadaan dan kehidupan lembaga kemahasiswaan seperti HMI, memerlukan kebijakan intelektual sesuai kecenderungan masyarakatnya. Masa depan HMI tergantung sejauh mana kadernya baik secara kelembagaan maupun personal memanfaatkan peluang iptek dan perubahan masyarakat secara maksimal dengan mengembangkan kemampuan intelektual yang berwawasan kemanusiaan. Pemenuhan tanggungjawab demikian adalah merupakan realisasi operasional pesan moral ajaran Islam yang seluruhnya merupakan kepeduliaan pada masalah kemanusiaan. Karena itu kaderisasi harus dapat mengembangkan kualitas personal dan kelembagaan sekaligus.
Dalam kerangka kehidupan negara bangsa yang semakin terbuka dan global berbagai konsep dan strategi gerakan perlu ditinjau secara kritis. Perlu dikembangkan basis rasional (Paradigma) yang baru atas program dan strategi gerakan melalui pemikiran ulang yang kritis berbagai program yang dapat disusun secara konseptual, analitis dan fungsional. Kurang berkembangnya kegiatan alternatif dan kreatif yang mampu menggerakkan partisipasi seluruh lapisan pimpinan dan anggota perlu dipecahkan dengan mengembangkan sikap kritis terhadap tradisi dan pengembangan kemampuan profesional sesuai tuntutan obyektif yang dihadapi.
Secara teknis masalah kemanusiaan dan masyarakat bangsa hendaknya menjadi perhatian serius. Beberapa program mungkin dapat dikembangkan seperti; penyiapan kader memasuki pasaran kerja secara kompetitif dan profesional dalam berbagai ragam dunia usaha. Secara ideologis, kader intelektual HMI harus memiliki ketrampilan dakwah seperti membaca do’a, khutbah, tabligh dan manajemen gerakan yang minimal memerlukan kemampuan membaca Al-Qur’an.
Perlu lebih dikembangkan kegiatan secara terprogram agar seluruh anggota HMI dapat mengembangkan kualitas personal yang mampu menumbuhkan kewibawaan sosial. Berbagai ketrampilan kerja teknis harus menjadi program andalan disamping kemampuan memahami sumber ajaran Islam. Seperti juga pengembangan kemampuan dan ketrampilan menulis karya ilmiah, pengembangan jaringan pemasaran dan lain-lain. Seluruhnya dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya kader dalam berbagai bidang disiplin, sehingga dapat dikemas suatu program yang dapat membangkitkan minat anggota dan masyarakat untuk ikut serta.
Demikian pula pola rekruitmen dan kaderisasi dikembangkan lebih memberikan peluang bagi pengembangan intelektual dan ketrampilan teknologis. Untuk itu setidaknya diperlukan kemampuan penguasaan bahasa dan penguasaan kemampuan metodologis. Penguasaan bahasa merupakan alat memanfaatkan peluang yang luas dalam memenuhi keharusan sejarah mengembangkan intelektualitas, wawasan kebangsaan dan dunia serta peradaban. Selanjutnya perlu mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan hasil pemikiran baik secara verbal maupun amat penting menyampaikan hasil pemikiran melalui karya tulis. Akhirnya, kader HMI secara niscaya memerlukan kemampuan menganalisis berbagai bidang perkembangan kehidupan masyarakat baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya dan iptek disamping kemampuan profesional teknologis sebagai media memasuki dunia kerja secara kompetitif serta dunia sosial kemanusiaan.

Makalah ini disampaikan pada Latihan Kader II HMI di Depok, 28 Desember 2007

Rabu, 07 Mei 2008

PARADIGMA KEBERHIMPUNAN DAN PENAJAMAN ORIENTASI PEMUDA (KNPI)

KNPI sebagai payung berhimpunnya OKP-OKP yang ada diIndonesia, akan tumbuh dan berkembang dalam suatu proses dinamika organisasi yang mengandung pengertian bahwa dalam organisasi tumbuh sebuah proses dialektika yang tiada hentinya, sehingga proses yang bergulir selalu saja melahirkan iklim kepentingan terutama dalam setiap peluang yang ada.
Proses dialektika terkadang berjalan seirama dengan vested interest dari sebuah keinginan (need), sehingga dinamika sistem tetap saja menjadi pilar bagi tegaknya sebuah organisasi. Hal ini sangat dirasakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ketika mulai didirikan pada 23 Juli 1973 dengan landasan semangat berhimpun dan berkarya dikalangan organisasi kepemudaan.
Dalam kebijakan implementatif KNPI perlu mereposisi orientasi kerjanya sesuai dengan era reformasi yang tengah dihadapinya. Setidaknya visi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI, menjadi penuntun arah jalan yang ditujunya sampai tahun 2020, yakni: ”terwujudnya pemuda kualitas intelektual, moralitas dan keterampilan pemuda yang berwawasan kebangsaan dan memiliki daya saing untuk memberdayakan masyarakat dalam kompetisi global”.

Hakikat Keberhimpunan
Keberhimpunan secara plural sebagai hekikat dasar pendirian yang menjadi jati diri KNPI, adalah bagian dari kekayaan bangsa yang dimiliki organisasi ini dibanding sejumlah organisasi kemasyarakatan lainnya di negeri ini, apalagi yang menyatakan keberhimpunannya adalah organisasi kepemudaan, yaitu wadah pemberdayaan dari kelompok umur manusia yang tengah berada pada posisi strategis, yaitu kritis, dinamis dan bahkan cenderung agresif.
Maka dari itu, keberhimpunan yang sangat pluralis ini, jika tidak dikelola secara baik, justru akan bisa berbalik arah menjadi ancaman atas keutuhan KNPI itu sendiri. Dalam arti bahwa keberhimpunan secara eksponensial, bagai dua sisi mata uang, yaitu antara kekayaaan dan ancaman.Kekayaan dan ancaman, memang adalah bayang-bayang yang sudah demikian mestinya, selalu berdialektik mengikuti perjalanan KNPI. Dan diantara dua bayang itulah yang justru menjadi bagian dari proses pendewasaan, kearifan, dan sikap saling menghargai akan adanya keberbedaan, yang memungkinkan KNPI mampu mencipta lahirnya calon-calon pewaris masa depan yang berpemahaman nasionalis.
Mereka berbeda latar kekaderan yang mempengaruhi ragam cara pandang masing-masing, berbeda paham yang mempengaruhi ragam sikap, berbeda aliran yang melahirkan ragam karakter, perbedaan suku yang mempengaruhi ragam watak, perbedaan idiologi yang melahirkan ragam keyakinan, dan lainnya yang menjadi ragam warna pelangi yang indah dari “miniatur Indonesia” di KNPI.
Mereka tidak hanya dipersamakan dalam keragaman karena struktural vertikal organisasi KNPI secara kenegaraan (state), dari Sabang-Marauke, sampai pada tingkat kecamatan, bahkan tingkat desa dan kelurahan sekalipun, tetapi juga dipersamakan oleh keberhimpunan OKP secara horisontal kebangsaan (nation) atas keragaman latar kekaderan, paham, aliran, suku, bahkan idiologi sekalipun. Semuanya berjalan secara simultran, terkelola dalam manajemen sinergitas secara berdialektik, sehingga siapapun yang terlibat didalamnya akan mencoba menemukan jati dirinya diantara sekian yang membedakannya satu dengan yang lain.

Eksistensi Organisasi
Jika dicermati latar pendeklarasian berdirinya kelembagaan KNPI sebagai wadah komunikasi antar pemuda Indonesia, maka ada dua aspek yang ingin dicapai. Pertama, KNPI sebagai wadah berhimpun untuk merekatkan berbagai latar kepemudaan yang pluralis secara horisontal, yang berindikasi simbalik sebagai nation (kebangsaan). Dan kedua, sebagai wadah pemersatu pemuda Indonesia dari Sabang sampai Marauke secara vertikal, dalam arti state (kenegaraan). Keberhimpunan kelembagaan pemuda menjadi wujud ”roh” eksistensi KNPI, sekaligus persatuannya menjadi batang tubuh atas jasad KNPI.
Berdasar pada dua sudut pandang itulah seutuhnya eksistensi KNPI dapat diterjemahkan, selain sebagai wadah perekat pemuda Indonesia secara kebangsaan dalam makna kultural, sekaligus sebagai wadah pamersatu kenegaraan secara struktural, yang secara simbolik adalah bagian dari penjabaran nilai-nilai sumpah pemuda.
Hanya saja yang menjadi soal, karena seiring dengan arah baru kebijakan pembangunan nasional dalam kerangka otonomi daerah, tarik menarik dua sudut pandang eksistensi kelahiran KNPI, belum juga sanggup disepadankan untuk meregulasi format baku kelembagaan KNPI, setidaknya dari aspek struktur, mekanisme rekrutmen dan komposisi kepengurusannya.
Meskipun dalam Paradigma Baru KNPI telah dirumuskan perlunya pergeseran hirarkis kekuasaan dan kepemimpinan, dari sentralisasi ke desentralisasi, tetapi belum juga sanggup mereda paradigma sentralisitik organisatoris dibenak sejumlah komponen kepemudaan. Padahal sederhananya bahwa desentralisasi tidak dimaknai dalam aspek struktural tetapi secara fungsional.
Dalam arti bahwa demi efektifnya fungsi-fungsi kelembagaan, maka struktur sudah semestinya disesuikan dengan kebutuhan daerah. Dan demi untuk mengembalikan khittah keberhimpunan, maka harusnya mayoritas personalia pengurus adalah para wakil-wakil OKP secara eksponensial. Serta demi untuk menjaga kesinambungan sistem dan menjauhkan KNPI dari ekslusifisme, sehingga rekrutmen personalia kesinambungan dan potensi kepemudaan, adalah suatu yang juga tidak kalah mendesaknya
Bentangan pemikiran mereduksi eksistensi KNPI seperti itu, sesungguhnya bukanlah suatu keniscayaan, sebagaimana perkembangannya khususnya pada era orde baru dimana eksistensi KNPI selalu dipertanyakan, karena dianggap sudah terlanjur jauh keluar dari khittah pendeklarasian berdirianya. KNPI hanya menghimpun sekelompok elit pemuda saja, yang justru hanya menjadikan KNPI sebagai jembatan untuk mencapai ambisi kekuasaan, sehingga berbagai program kerjanya lebih bernuansa populis, yang jauh lebih unggul dari citra ketimbang dari yang sebenarnya.
KNPI tidak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga cenderung mengabaikan kepentingan pemuda dan OKP yang justru menjadi pilarnya.. Pada puncaknya di awal era reformasi, KNPI diteriakkan untuk dibubarkan saja.

Reposisi Peran
Orientasi pendirian KNPI sebagai medium komunikasi perekat dan pemersatu pemuda Indonesia, diperhadapkan pada dua sisi yang sangat ambivalen. Di satu sisi KNPI dituntut untuk dapat mengambil peran secara kelembagaan dalam berbagai problematika kemasyarakatan dan kenegaraan, sementara pada sisi yang lain KNPI dituntut untuk berposisi sebagai laboratorium kader untuk mempersiapkan lapis kader pewaris masa depan bangsa.
Dua sisi pandang itu, sampai saat ini sama kuat arusnya itu, sehingga wajar jika muncul sikap apatis dari sebagian kalangan terhadap banyaknya harapan yang ditimpakan kepada KNPI. Tidak saja datangnya dari masyarakat umum, tetapi juga dari OKP yang seharusnya menjadi “pemilik” dan menjadi roh atas batang tubuh kelembagaan KNPI, justru berbalik menjadi penggugat utama. Padahal sejak awal, Taufik Abdullah (LP3S : 1974) telah mempetakan dua sudut pandang itu, bahwa munculnya suatu generasi muda selain dilihat dari aspek demografis untuk mengisi suatu generasi baru dalam masyarakat, tetapi juga dilihat secara sosiologis dan historis sebagai subjek potensial bagi adanya suatu perubahan dinamis dalam lingkungan sosial kemasyaratan dan kenegaraan, sebagaimana sejarah panjang ke-Indonesia-an telah mengukirnya dengan tinta emas, mulai sejak tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 sampai dengan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998.
Bagi yang berpandangan demografis, lebih melihatnya secara strategis dalam perspektif jangka panjang, yaitu pada sisi subjek kepemudaan itu sendiri, bahwa setiap generasi muda adalah bagian dari keberlangsungan suatu regenerasi, sehingga ia adalah bagian dari investasi jangka panjang sebagai pewaris masa depan kelangsungan bangsa.
Untuk itulah sehingga KNPI pada hakekatnya diharapkan memainkan peranannya secara substansial untuk mampu melahirkan kader-kader potensial yang berwawasan kebangsaan dan memiliki tingkat daya saing tinggi. Sehingga sekian jumlah program KNPI diorientasikan pada aspek kaderisasi untuk lebih mengedepankan”proses” ketimbang ”hasil”, dengan indikator kualitatif bukan kuantitatif, atau pada aspek kultural bukan struktural, serta yang substantif bukan populis.
Sementara yang berpandangan sosiologis-historis, melihatnya pada konteks sasaran terhadap kondisi zaman kekinian yang sedang dihadapi, dan dalam hakekat kepemudaan sebagai agent of social change untuk berfungsi sebagai moral force, menuntut agar KNPI sanggup terlibat secara langsung dalam mengantisipasi berbagai problematika kemasyarakatan. Tuntutan seperti ini, sekaligus bermaksud untuk menepis tudingan yang dialamatkan ke KNPI yang sangat ekslusif, elitis dan ter-menaragading-kan, karena jauh dari realitas sosial yang dihadapinya. Pada saatnya, KNPI lambat laun akan terbawa dalam posisi yang semakin marginal, sebagaimana realitas menyatakan keberadaan KNPI di masa era orde baru yang dinilai tidak lebih bagian dari grand strategy skenario stabilitas nasional, untuk mewadahtunggalkan berbagai kelembagaan pemuda.

Revitalisasi Fungsi dan Peran
Tarik menariknya pandangan keberadaan generasi muda bersama kelembagaanya, antara aspek demografis di satu sisi, dan sosiologis-historis pada sini yang lain, tidak lebih kurang karena perbedaan jangkauan pandangan terhadap kemaslahatan bangsa. Yaitu antara yang berperspektif kebutuhan masa datang, dan antara yang terdesak pada problematika kemasyarakatan untuk kekinian. Bahwa keberadaan dan pemberdayaan suatu generasi, tidaklah serta merta diukur hasilnya pada saat sekarang ini, karena ia adalah bagian dari suatu proses, bukan pada hasil, sehingga program-program KNPI didesak untuk berorientasi untuk kebutuhan masa datang.
Pada saatnya ingin dimaknai bahwa revitalisasi fungsi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020, agar KNPI mampu menggerakan fungsi artikulator, dinamisator, fasilitator dan mediatornya untuk senantiasa menciptakan adanya ruang bebas untuk berkompetisi (free public spharee), yang memungkinkan segenap potensi kepemudaan dapat terefleksikan secara substantif dan orisinil atas adanya ruang bebas yang dimilikinya, sehingga segala aktifitas kepemudaan dan program KNPI akan lebih dimaknai learning by doing sebagai bagian dari proses kaderisasi itu sendiri, untuk berfungsi menjadi bagian pembelajaran yang sangat berharga (Lesson Learned).
Atas alur pemikiran seperti itulah semestinya paradigma tentang orientasi program kepemudaan dimaknai, dalam arti bahwa tanpa bermaksud mengabaikan paradigma dan desakan kuat dari banyak kalangan generasi muda agar KNPI mengorientasikan programnya pada soal-soal kemasyarakatan yang mendesak, tetapi yang lebih dikedepankan pada aspek kekaderannya. Bahwa yang menjadi tanggungjawab sosial pemuda dan kelembagaannya, sudah semestinya diperankan sebagaimana kebutuhannya, tetapi jauh lebih mengedepankan pada orientasi prosesnya, bukan pada orintasi hasilnya. Dan pada saatnya pulalah coba dimaknai revitalisasi peran yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020.

Penajaman Orientasi
Ada yang lebih penting dan substantive dari sekedar suksesi kepemimpinan dan pergantian pengurus di KNPI, yakni kejelasan orientasi pembangunan pemuda berikut organisasinya ke depan. Sehingga dengan demikian, keberadaan pemuda akan benar-benar terasa memiliki kontribusi positif bagi pembangunan bangsa secara utuh.
Begitu banyak persoalan yang membelit para pemuda hari ini. Mulai dari degradasi karakter kepemudaan, meredupnya kepemimpinan dan ketokohan, gersangnya kehidupan intelektual, semakin menurunnya peran sosial budaya pemuda, serta berbagai masalah sosial, budaya dan ekonomi yang juga tidak pernah lepas dari kehidupan para pemuda. Hal ini kiranya patut menjadi PR besar kita. Karena bagaimana pun pemuda adalah aset yang di tangannyalah masa depan bangsa digantungkan.
Saat ini kita membutuhkan semacam format pembangunan pemuda secara Nasional yang harus menjadi prioritas kita sehingga pembangunan pemuda akan memiliki kejelasan arah dan akan ada proses pembangunan dan gerakan yang berkelanjutan. Diakui atau tidak, selama ini belum terlihat konsep yang jelas dalam pembangunan pemuda berikut keterarahan gerakannya. Kita butuh reorientasi dan penajaman orientasi itu dari pemuda sendiri, sehingga kerja akan lebih fokus.
Bergulirnya reformasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Perubahan yang terjadi itu hendaknya mendorong kita untuk juga dinamis dan cerdas dalam membaca realitas zaman, termasuk para pemuda tentunya. Kita tidak mungkin memakai paradigma lama dalam melakukan pembangunan hari ini. Apalagi KNPI yang notabene lahir di zaman orde baru (Orba) dan sudah menjadi rahasia umum kalau di zaman Orba KNPI disebut-sebut sebagai salah satu perangkat kepentingan kekuasaan. Wallahu’alam, kita tidak perlu memperdebatkan itu lagi.
Dengan kecerdasan membaca realitas zaman kita diharapkan akan lahir dan bergerak dengan paradigma baru, orientasi baru, orang-orang baru dan cita-cita yang baru. Sehingga dengannya akan lahirlah KNPI yang juga bisa dimaknai semua pihak sebagai KNPI baru, walaupun dari segi nama dan simbol-simbol lainnya masih memakai yang lama. Otonomi daerah adalah salah satu produk “era baru”. Era otonomi menuntut kearifan dan kreatifitas lokal yang juga lebih. Kran desentralisasi yang sudah terbuka itu hendaknya bisa kita jawab dengan konsep yang matang dan keterarahan gerak. Dalam hal pembangunan pemuda, hendaknya kita bisa memamfaatkan momentum ini untuk melahirkan pemuda-pemuda berkualitas dengan tetap berbasis pada potensi lokal. Yaitu pemuda-pemuda yang tumbuh dan besar menjadi mutiara bangsa dengan karakteristik serta keunikan lokal yang dimilikinya.
Pemuda-pemuda mesti dibangun dengan potensi dan perangkat daerah yang dimiliki, baik perangkat moril maupun materilnya. Dimana, dengan itu mereka terus tumbuh besar dan memiliki nilai lebih pada level yang lebih luas dengan kekhasan-kekhasan yang berbasis lokal. Apalagi kita menyadari bahwa tidak akan mungkin satu daerah yang pasti memiliki potensi dan karakter tersendiri bisa disamakan dengan daerah lain. Walaupun dalam beberapa hal, studi perbandingan misalnya, hal itu bisa saja kita lakukan.
Pada pembentukan personality para pemuda, kita mesti terus merumuskan cara paling tepat untuk melahirkan pemuda yang memang secara seimbang kuat secara intelektual, spiritual dan emosional. Artinya, upaya-upaya sistematis yang akan melahirkan pemuda secara utuh sebagai “manusia pemuda” perlu terus digagas dan disempurnakan. Sehingga pemuda-pemuda akan lahir sebagai manusia paripurna yang akan mampu memainkan peran sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Dalam hal optimalisasi peran tidak kalah pentingnya. Lapangan peran pemuda yang terhampar luas mestilah bisa disadari pemuda untuk selanjutnya dibawa ke ranah agenda aksi nyata dengan prioritas-prioritas di dalamnya. Stagnasi dan kebuntuan pembangunan dan gerakan pemuda mesti ditemukan solusinya dengan aksi nyata pada berbagai sendi kehidupan yang ada di sekitar pemuda. Peran intelektual, kepemimpinan dan keteladan serta peran sosial kemasyarakatan adalah diantara peran yang mesti menjadi prioritas untuk dimainkan.
Pada tataran intelektual, sudah saatnya pemuda hari ini memiliki goal yang jelas serta memiliki agenda strategis dan realistis untuk dilaksanakan. Bahwa pendahulu kita adalah para intelektual-intelektual yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini adalah catatan sejarah yang tidak terbantahkan. Tapi sungguh demikian, hal itu tetap saja sejarah mereka. Maka hari ini tugas kita untuk melanjutkan sejarah dan episode kepahlawanan itu.
Kekayaan dan kematangan intelektual kita para pemuda hendaknya sudah bisa dibuktikan dengan karya-karya intelektual. Kapabilitas kita dalam berdikusi, membaca dan menulis yang didasari oleh kekayaan ide, pengetahuan dan pemikiran adalah diantara indikasinya. Karena hal tersebut akan sangat menentukan kapasitas intelektual kita para pemuda.
Maka oleh karenanya, kini yang dibutuhkan adalah bagaimana pengasahan dan pematangan intelektual itu dilakukan kemudian terus menuangkan gagasan-gagasan intelektual dengan cara membaca, berdiskusi dan menuliskannya. Pengadaan perpustakaan yang representatif di gedung pemuda, penuangan gagasan dan pemikiran di media cetak dan dengan penerbitan buku dari kalangan muda, barangkali perlu menjadi perhatian yang lebih dalam masalah ini.
Membangun karakter kepemimpinan untuk siap menjadi pemimpin dan teladan di tengah komunitas dan masyarakatnya juga perlu agenda yang kreatif dan inovatif. Perlu ada terobosan baru dalam masalah ini, sehingga tokoh dan pemimpin yang dilahirkan benar-benar orang yang siap memimpin dan tidak terlahir secara instan. Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan mengasah diri dalam aktivitas nyata di berbagai segmen kehidupan bermasyarakat, memprogram sekolah kepemimpinan kaum muda, di samping workshop kepemimpinan yang sering diangkatkan organisasi.
Pemuda memiliki ruang, kesempatan dan potensi yang sagat besar untuk melakukan semua itu. Kemunculan pemuda sebagai “penerang di tengah gulita” harus benar-benar nampak pada kehidupan fakta-faktanya. Semua ini membutuhkan pembelajaran yang sungguh-sungguh, komitmen yang tinggi serta konsistensi yang tidak mudah goyah. Sehingga tokoh muda dan pemimpin muda yang kita lahirkan tidak sekedar ditahu orang, tapi lebih dari itu, memang memiliki daya magnit yang kuat dan alamiah untuk bisa menjadi rujukan dan teladan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Peran sosial pemuda hari ini juga perlu ”digugat” oleh pemuda sendiri, jika memang kita menginginkan perbaikan dan kemajuan. Pemuda mesti menjadi subjek dalam upaya pemecahan berbagai masalah sosial dan pembangunan tatanan sosial kita. Pemuda tidak bisa hanya menjadi penonton atau pengikut dan memainkan peran sosial hanya sebagai upaya untuk membuktikan bahwa pemuda masih ada. Tapi lebih dari itu, pemudalah yang semestinya menentukan kemana dan seperti apa tatanan sosial ini akan dibangun dan merekalah yang selalu berada di garda depan manakala masalah-masalah sosial bermunculan.
Kenyataan hari ini sungguh memprihatinkan. Pemuda seolah terkubur ketika aneka problema sosial muncul di depan mata. Ketika kita dirundung bencana, mulai dari bencana alam sampai bencana moral, pemuda malah nyaris tidak memainkan perannya. Kemana pemuda ketika ribuan orang korban bencana membutuhkan sentuhan tangan-tangan mereka? Kemana pemuda tatkala para anjal kian berkeliaran di jalanan? Kemana pemuda ketika bencana Aids, Narkoba dan pergaulan bebas tak henti melanda kita? Dan yang lebih parah lagi, ternyata dalam kondisi yang sakit, terkadang pemuda juga ikut berkontribusi dalam menyebar bibit-bibit penyakit sosial itu.
Keterarahan orientasi kerja dalam pembenahan organisasi juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan. Sinergisitas gerak semua organisasi pemuda sudah menjadi kebutuhan. Kita butuh langkah dan agenda yang saling bersinergi dan memiliki cita-cita yang sama. Jadi, ada muara yang ingin kita tuju bersama sebagai bukti bahwa kita memang berkarya dan bekerja bersama-sama.
Di tengah kondisi bangsa yang merangkak untuk bangkit dan masyarakat yang terus terjepit, tidak saatnya lagi kita terkotak-kotak atau tercerai-berai hanya menjadi elemen-elemen kecil organisasi pemuda. Keanekaragaman karakter dan berbagai latar belakang organisasasi pemuda mestilah mampu kita ikat menjadi sebuah kekuatan yang melahirkan energi besar menggapai cita-cita pemuda dan bangsa. Dan kesuksesan KNPI akan sangat ditentukan oleh bagaimana KNPI bisa menggerakkan segenap organisasi kepemudaan yang bernaung di bawahnya.
Selain itu, membangun jaringan, kemitraan, aliansi gerakan dan koalisi konstruktif dengan seluruh elemen bangsa dan masyarakat dalam rangka menggapai cita-cita kebangsaan juga mesti menjadi agenda organisasi seperti KNPI. KNPI tentu sangat berpeluang membuat jejaring organisasi pemuda serta memfasilitasi para pemuda dan organisasinya untuk mengoptimalkan peran kepemudaan mereka.
Begitu banyak yang mesti kita perbuat dan terus diperbaiki di tengah keterbatasan kita dan parahnya kondisi. Sungguh demikian, kita, terutama para pemuda tentu akan terus optimis dan yakin, bahwa hari depan pasti akan lebih baik dan akan menjadi milik kita. Semangat juang, komitmen, karya dan konsistensi akan sangat menentukan nasib kita dan bangsa ini ke depan.

Catatan :
KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI. Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi. Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.

Makalah ini disampaikan oleh Saleh La Ela, dalam forum internal KNPI pada acara “Temu Wicara Peningkatan Kesadaran Berkonstitusi Bagi Tokoh Pemuda se Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPP KNPI bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI pada tanggal 25-27 April 2008 di Hotel Sultan Jakarta