Rabu, 08 Oktober 2008

SELAMAT IDUL FITRI 1429 H

Buat Para sahabat pembaca Blog,
walaupun terkesan sudah terlambat karena baru pulang mudik tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, izinkanlah kami sekeluarga mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir dan bathin.

Salam,

Saleh La Ela & Keluarga

Rabu, 17 September 2008

Wanita Karir Dalam Perspektif Islam

Pengantar

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka yang ta'at kepada Alloh dan Rosulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana" (QS.Attaubah:71).

Pada jaman sekarang banyak wanita yang menempati posisi-posisi strategis diantaranya menjabat posisi Direktur, Dekan, Ketua Yayasan, juga Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Anggota Majelis Perwakilan Rakyat. Sejarah Islam juga mencatat nama-nama wanita karir pada jaman Nabi Muhammad SAW diantaranya adalah Ummu Salim binti Malhan, Shafiyah bin Huyay (istri Nabi) sebagai perias pengantin, Khadijah binti Khuwailid (istri pertama Nabi) dikenal sebagai pedagang yang suskses, begitu pun dengan Qilat Ummi Bani Anmar. Ada juga Al-Syifa' yang dikenal sebagai seorang penulis handal.

Sejak lama Islam telah mengajarkan persamaan antar manusia, baik pria dan wanita, antara bangsa, suku dan keturunan yang berbeda. Itu terjadi jauh sebelum gerakan emansipasi wanita dihembuskan oleh dunia barat. Dalam Islam yang membedakan mereka (pria dan wanita) hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an surat Al-Hujuraat ayat 13 : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Gerakan emansipasi wanita tumbuh subur dan dikembangkan oleh barat melalui strategi global 'ghazwul fikri' (perang pemikiran) yang ditembakkan ke tubuh ummat Islam, khususnya wanita. Ide ini bersama-sama sekularisme dan nasionalisme menjadi satu paket ideologi yang merusak dan memporakporandakan bangunan umat Islam. Ghazwul fikri itu antara lain telah merusak pemahaman wanita dalam urusan keprofesian, sehingga mereka banyak bekerja diluar rumah dengan dalih mengejar karir. Mereka berani meninggalkan tanggungjawabnya sebagai isteri, ibu bagi anak-anaknya hanya untuk mencapai obsesinya itu.

Kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan wanita menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh wanita-wanita di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu. Islam telah menempatkan posisi wanita sama dengan pria, bahkan Allah menegaskan dalam Al Qur'an surat Al Ahzab ayat 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Islam pun memberi kesempatan untuk berkarir (bekerja) seluas-luasnya kepada wanita. Selama pekerjaan itu, membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan itu. Selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan penting. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun sebagian ulama membolehkannya selama untuk kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam dan kemaslahatan bagi wanita itu sendiri dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), tapi dengan suatu alasan yang kuat tentunya. Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai kondisi di mana seorang wanita terpaksa mencari nafkah. Hal ini sebenarnya bukan baru dan tidak terjadi di zaman sekarang saja. Simaklah kisah dua putri Nabi Syuaib yang tersebut dalam al-Qur’an surah al-Qashash ayat 23: Maka tatkala ia (Nabi Musa alayhissalam) sampai di sumber air negeri Madyan, dilihatnya sekumpulan orang sedang berebut mengambil air untuk minum (ternak mereka). Dan dilihatnya di belakang kerumunan orang itu, dua orang wanita tengah menambat ternaknya (berdiri menunggu). Berkatalah Musa: "Sedang apa kalian berdua?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu selesai memulangkan (ternaknya). (Kami melakukan pekerjaan ini) karena bapak kami sudah lanjut usia."

Episode singkat di atas menarik dicermati. Dalam ayat tersebut tersirat tuntunan yang mulia tentang bagaimana seorang wanita bekerja di luar rumah. Di sana ada adab dan syariat yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah.

Ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita. Dari kalimat ini kita menjumpai adab:
  1. Wanita tersebut tidak sendiri melainkan berdua dengan saudara perempuannya dalam hal ini adalah mahramnya. Hal ini juga dipertegas dalam tuntunan Rasulullah saw dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Perempuan tidak boleh bepergian kecuali didampingi oleh mahramnya”

  2. Menghindari bercampur-baur (ikhtilath) dengan laki-laki non -mahram. Kedua wanita ini lebih mau menunggu lama dan rela mendapat giliran terakhir daripada berdesak-desakan dengan laki-laki. Dalam kisah tersebut sangat jelas bagaimana kedua perempuan tersebut menjaga diri mereka dari bercampur baur dengan lelaki yang bukan muhrimnya.

  3. Dengan berada di bagian belakang dan menunggu hingga semua lelaki yang sedang meminumkan ternaknya itu pulang terlebih dahulu, kedua wanita mulia itu juga terhindar dari kemungkinan dilihat atau saling memandang (ghadhdhul bashar). Hal ini juga sesuai dengan Al-Qur’an surah An-Nuur : 31 yang berbunyi, „Katakanlah kepada wanita yang beriman ‚Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya“. Begitu juga diriwayatkan oleh Said bin Musayyab bahwa Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Fatimah ra tentang bagaimanakah wanita yang baik. Fatimah menjawab: „wanita yang tidak mau melihat lelaki dan tidak mau dilihatnya“.

  4. Mesti ada alasan kuat yang menyebabkan seorang wanita boleh bekerja di luar rumah: „karena bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." Di sini dapat kita lihat bahwa seorang muslimah boleh saja bekerja di luar rumah jika seandainya ayah atau suami mereka tidak sanggup lagi untuk menafkahi mereka. Hal ini juga sejalan dengan kisah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud, berkata: "Pernah ketika aku berada di masjid, aku bertemu Nabi saw. Beliau bersabda: 'Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!' Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab berkata: 'Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu masuk rumah Nabi saw. dan keperluarmya sama dengan keperluanku. Lalu datang Bilal lewat di dekat kami, maka kami katakan padanya: "(Hai Bilal), tanyakanlah pada Nabi saw, apakah sah bila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?" Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaanku itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab: 'Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.'"

  5. Terakhir tentu saja boleh bekerja ke luar rumah dengan seizin dan sepengetahuan orang tua, wali atau suaminya.


Aktivitas Wanita Masa Kini
Sebenarnya, usaha (kiprah kaum wanita cukup luas meliputi berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yang diselaraskan dengan Islam, dalam segi akidah, akhlak dan masalah yang tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkanoleh Islam.

Wanita Muslimat mempunyai kewajiban untuk memperkuat hubungannya dengan Allah dan menyucikan pikiran serta wataknya dari sisa-sisa pengaruh pikiran barat. Harus mengetahui cara menangkis serangan-serangan kebatilan dan syubhat terhadap Islam. Harus diketahui dan disadari hal-hal yang melatarbelakanginya, mengapa dia harus menerima separuh dari bagian yang diterima oleh kaum laki-laki dalam masalah hak waris? Mengapa saksi seorang wanita itu dianggap separuh dari laki-laki? juga harus memahami hakikatnya, sehingga iman dan Islamnya bersih, tiada keraguan lagi yang menyelimuti benak dan pikirannya.

Dia harus menjalankan secara keseluruhan mengenai akhlak dan perilakunya, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam. Tidak boleh terpengaruh oleh sikap dan prilaku wanita non Muslim atau berpaham barat. Karena mereka bebas dari pikiran dan peraturan-peraturan sebagaimana yang ada pada agama Islam. Mereka tidak terikat pada perkara halal dan haram, baik dan buruk.

Banyak diantara kaum wanita yang meniru mereka secara buta, misalnya memanjangkan kuku yang menyerupai binatang buas, pakaian mini, tipis (transparan), atau setengah telanjang, dan sebagainya. Cara yang demikian itu adalah meniru orang yang buta akan hal-hal terlarang.

Nabi SAW telah bersabda :
”Janganlah kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian dan berkata,’Aku ikut saja seperti orang-orang itu. Jika mereka baik, aku pun baik; jika mereka jahat, aku pun jadi jahat.’ Tetapi teguhkan hatimu dengan keputusan bahwa jika orang-orang melakukan kebaikan, maka aku akan mengerjakannya; dan jika orang-orang melakukan kejahatan, maka aku tidak akan mengerjakannya.”

Peranan Wanita Dalam Keluarganya
Di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan, semua penetapan dan perintah ditujukan kepada kedua pihak, laki-laki dan wanita, kecuali yang khusus bagi salah satu dari keduanya. Maka, kewajiban bagi kaum wanita di dalam keluarganya ialah menjalankan apa yang diwajibkan baginya. Jika dia sebagai anak, kemudian kedua orang tuanya atau salah satunya menyimpang dari batas yang telah ditentukan oleh agama, maka dengan cara yang sopan dan bijaksana, dia harus mengajak kedua orang tuannya kembali ke jalan yang baik, yang telah menjadi tujuan agama, disamping tetap menghormati kedua orang tua.

Wajib bagi setiap wanita (para istri), yaitu membantu suaminya dalam menjalankan perintah agama, mencari rezeki yang halal, menerima dan mensyukuri yang dimilikinya dengan penuh kesabaran, dan sebagainya. Wajib pula bagi setiap ibu, mengajar anak-anaknya taat kepada Allah, yakni dengan menjauhi larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya, serta taat kepada kedua orang tuanya.

Kewajiban bagi setia wanita terhadap kawan-kawannya yang seagama, yaitu menganjurkan untuk membersihkan akidah dan tauhidnya dari pengaruh di luar Islam, menjauhi paham-paham yang bersifat merusak dan menghancurkan sendi-sendi Islam dan akhlak yang luhur, yang diterimanya melalui buku, majalah, film, dan sebagainya.

Dengan adanya tindakan-tindakan di luar Islam, yang ditimbulkan oleh sebagian kaum Muslimin terhadap wanita yang kurang bijaksana dan insaf, maka hal inilah yang menyebabkan terpengaruhnya mereka pada peradaban barat dan paham-pahamnya.

Harus diketahui pula, bahwa suara pertama dari kaum wanita dalam menguatkan dakwah dan risalah Muhammad SAW ialah suara Khadijah binti Khuwailid r.a kepada Rasulullah SAW.
“Demi Allah Tuhan tidak akan mengecewakan engkau sama sekali. Sesungguhnya engkau bersilaturrahmi, menghubungi keluarga dan mengangkat beban berat, memberi kepada orang yang tidak punya, menerima dan memberi (menghormati) kepada tamu, serta menolong orang-orang yang menderita.”

Orang pertama yang berperan sebagai syuhada ialah Ummu Amr binti Yasir Ibnu Amar yang bernama Samiah, dia bersama suaminya disiksa, agar mereka keluar dari agama Islam. Tetapi mereka tetap bertahan dan sabar, sehingga dia mati syahid bersama suaminya.

Ketika Rasulullah SAW melintasi mereka, dan melihat mereka dalam keadaan disiksa, lalu Rasulullah SAW berkata kepada mereka, ”Sabarlah wahai Al-Yasir, sesungguhnya kita nanti akan bertemu di surga.”

Karir Wanita dalam Perspektif Islam
Allah SWT menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.

Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an , “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).

Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.

Oleh karena itu, agama Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.

Agama Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membe-bankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.

Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.

Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.

Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.

Solusi Islam Terhadap Diskursus Karir Wanita
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa bekerja ke luar rumah dengan persyaratan sebagai berikut :
  1. Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).

  2. Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing; Sebab ada dampak negatif yang besar. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seo-rang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang me-rupakan) mahramnya”. (HR. Bukhari).

  3. Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di dalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum)

  4. Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara. Firman Allah, “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik”.(Al-Ahzab: 32)

  5. Hendaknya pekerjaan/karir yang dijalankan oleh perempuan harus tetap menjaga keseimbangan dengan tugas-tugas rumah tangga sebagai seorang istri, ibu, dan pendidik bagi anak-anaknya. Karena sesungguhnya Allah SWT juga men-taklif kaum perembuan untuk menjadi pengelola rumah tangga dan pendidik generasi.


Penutup
Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa berkarier bagi muslimah boleh-boleh saja asalkan tidak keluar dari koridor Syariat Islam seperti tersurat dan tersirat dalam kisah nabi Musa dan kedua putri Nabi Syuaib tadi. Pertama, memenuhi tata cara pergaulan yang Islami, yaitu menghindari hal-hal yang bersifat jahiliyyah seperti bercampur-baur dengan laki-laki asing (ikhtilath), pamer aurat (tabarruj), melembutkan suara dengan maksud memikat hati laki-laki, dan berdua-duaan (khalwat) dengan non-muhrim yang bisa menimbulkan fitnah. Dan kedua, mendapat izin orang tua (kalau belum menikah) atau suami, serta menjaga pandangannya (ghadhdh al-bashar) dan dengan alasan yang tidak bertentangan dengan syariat islam. Wallahu a‘lam.

Salam

Saleh La Ela

Jumat, 12 September 2008

MY FIRST ACTION IN BUSSINES



Tiga (3) bulan telah terlewati sejak saya terdaftar sebagai seorang TDB, dalam limit waktu tiga bulan ini saya sangat rajin sekali membuka web Komunitas TDA dan blog para member TDA untuk mendapatkan motivasi, pengalaman dan peluang bisnis.

Hampir setiap hari saya sempatkan untuk membaca blog Pak Rosihan (Saqina), Pak Faif (Kafana Distro), Pak Rony (Manet Busana Muslim), Pak Teguh (sulam etnik Azka), Ibu Doris Nasution (Shaakira) dan Ibu Poppy Garmila (Ruzika), sambil mempelajari proses yang mereka lalui dari waktu ke waktu dengan harapan bahwa proses ini akan menjadi pelajaran bagi saya dalam memulai sebuah proses untuk menjadi seorang TDA, insya Allah.Amien

Keyakinan dan tekad untuk menjadi seorang TDA sangat kuat terpatri dalam diri saya, bahwa untuk menjadi seorang TDA tidak hanya dibutuhkan keinginan dan tekad yang kuat tetapi harus diimplementasikan dalam bentuk aksi yang nyata dalam menggapai keinginan dimaksud, hal inilah yang selalu ditekankan oleh para komunitas TDA.

Setelah melalui pertimbangan akan pilihan-pilihan usaha yang akan coba saya jalani maka dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim pilihan kami yaitu usaha perlengkapan busana muslim, semoga pilihan ini adalah pilihan yang tepat dan diridhoi Allah SWT.Amien

Pilihan ini didasari atas pertimbangan bahwa pertama, menghadapi hari raya idul Fitri tahun 2008 yang sudah semakin dekat tentu permintaan akan busana muslim meningkat, kedua, pasar sasaran dari usaha ini adalah di daerah (tingkat pendapatan masyarakatnya rendah sehingga kualitas barang yang dibutuhkanpun standar), ketiga, belum adanya outlet yang secara khusus menyediakan kebutuhan perlengkapan muslim. Dan Alasan yang sangat pribadi adalah karena tahun ini kami merencanakan untuk lebaran bersama orang tua di kampung sekaligus bisa action dan membaca peluang dan menjajaki usaha di daerah.

Dengan keterbatasan modal yang ada maka tahapan pertama yang saya lakukan adalah melakukan survey produk-produk perlengkapan muslim pada pusat grosiran yang ada di Jakarta (walaupun sudah tersedia produk muslim yang berkualitas dengan komisi sangat menarik dari para member TDA bagi pemula seperti saya yang ingin memulai usaha atau action, insya Allah pada tahapan berikutnya akan melakukan order pada teman-teman komunitas TDA garmen) target yang menjadi sasaran saya adalah ITC Mangga Dua dan Pasar Tanah Abang. Pada tahapan awal ini saya ingin mengetahui kualitas barang dan tentu yang pasti adalah harganya.

Hari sabtu dan minggu adalah hari yang sangat luang bagi saya karena tidak bekerja maka saya dan istri saya (Rusulina Ekasari) sepakat hari sabtu, 6 Juli 2008 akan melakukan survey ke ITC Mangga Dua, kami berangkat dari rumah sekitar jam 08.00 karena seperti biasa pagi harinya setelah subuh kami harus bercanda ria bersama anak kami Rofifah Salsabila Saleh yang saat ini baru berumur 1,4 tahun yang tentu sangat membutuhkan perhatian kami sebagai orang tua. Setibanya di ITC Mangga Dua kami sepakat untuk memulai perjalanan dari Pasar Pagi Mangga Dua karena lokasinya bersebelahan dengan ITC Mangga Dua. Perjalananpun dimulai dari setiap outlet ke outlet yang lain sambil melihat produk dan menanyakan harga grosirannya serta membanding-bandingkan kualitas produk, perjalananpun berakhir sekitar jam 13.20, karena waktunya masih memungkinkan untuk ke Pasar pagi lama dekat stasiun kota maka kami sepakat untuk melihat-lihat accesories yang dapat dipadukan pada busana muslim. Akhirnya perjalanan pertama kami selesai pada pukul 15.30, and we come home.

Keesokan harinya Minggu, 7 Juli 2008 saya dan istri memulai lagi perjalanan menuju Pasar Tanah Abang, hal yang sama kami lakukan seperti pada ITC Mangga Dua berjalan keluar masuk outlet yang satu ke yang lain begitu seterusnya hingga akhirnya kami mendapatkan banyak sekali referensi bagi pemula seperti kami dan kami memutuskankan untuk membeli di Pasar Tanah Abang.

Akhirnya pada hari Rabu, 10 Juli 2008 istri saya bersama ibu mertua ke Tanah Abang untuk membeli beberapa produk yang sudah menjadi target kami. Semoga keputusan dan usaha yang kami jalani ini mendapatkan ridhoi dari Allah SWT. Amien....serta mohon doa dari para pembaca dan terima kasih atas dukungan motivasi dan inspirasi yang diberikan oleh komunitas TDA

Salam
Saleh La Ela

NB. Selain beberapa produk yang saya beli di Tanah Abang ada juga yang saya beli berupa jilbab dan busana muslim di pasar tasik JaCC. Mohon maaf sudah hampir dua bulan tidak nulis, tulisan ini mencoba mereviwu kembali beberapa aktifitas yang saya lakukan sebelumnya.

Selasa, 01 Juli 2008

Tinjauan atas PP No.43 Tahun 2007


  1. Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi calon Pegawai Negeri Sipil pasal 6 ayat 2 telah menjelaskan bahwa Tenaga Honerer yang dapat diangkat menjadi PNS adalah Tenaga honorer yang selama ini telah mendapatkan alokasi anggaran dari APBN dan APBD seperti yang tertuang juga dalam Pasal 11 (PP No.43 Tahun 2007)

  2. Tidak semua tenaga honorer mendapatkan anggaran dari APBN atau APBD seperti tenaga honerer yang mendapatkan alokasi anggaran dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM dan anggaran lain diluar APBN dan APBD yang semestinya juga mendapatkan perlakuan yang sama karena telah memenuhi syarat dilihat dari masa pengabdian dan usia.seperti yang diamanahkan dalam pasal 3 poin 2 PP No.43 Tahun 2007

  3. Proporsi pengangkatan guru honerer yang dibiaya oleh APBN dan APBD dengan guru honorer yang dibiayai oleh PKPS BBM dapat dilakukan secara bersamaan dengan menentukan persentasi masing-masing tanpa harus menunggu seluruh guru honorer yang dibiayai oleh APBN/APBD diangkat menjadi PNS

  4. Perlunya Peraturan Pemerintah terhadap perubahan PP No.43 Tahun 2007 yang dapat mengakomodasi aspirasi guru honorer yang tidak dibiayai oleh APBN/APBD dengan memperhatikan asas persamaan dan hak-haknya sebagai seorang pendidik dan sebagai warga Negara

  5. Seharusnya dalam proses pendaftaran sebagai tenaga honorer pada Departemen Agama yang akan diangkat menjadi PNS dibagi dalam 2 tahapan yaitu tahap pertama diberlakukan bagi Tenaga Honorer yang mendapatkan biaya dari APBN/APBD dan setelah semuanya telah diangkat baru dibuka tahap kedua yang diberlakukan bagi tenaga honorer yang dibiayai diluar anggaran APBN/APBD sehingga tidak terjadi persoalan dimana tenaga honorer yang dibiayai diluar anggaran APBN/APBD yang telah terdaftar dan telah masuk dalam data base BKN tetapi tidak dapat diangkat menjadi PNS yang berdampak terhadap perlakuan diskriminasi terhadap mereka

Senin, 30 Juni 2008

STRATEGI PEMBERDAYAAN POLITIK KAUM PEREMPUAN


Pengantar
Pendidikan politik memang telah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri, terlebih pada saat ini ketika kesadaran bahwa gerakan perempuan mempunyai potensi gerakan yang semakin meluas maka gerakan untuk membangun kekuatan politik perempuan sudah tidak bisa ditunda lagi dan diharapkan ini akan menjadi salah satu alternatif dalam mencari penyelesaian untuk beragam permasalahan yang dihadapi oleh bangsa, terutama yang berdampak sangat besar terhadap perempuan seperti kenaikan harga yang membuat perempuan harus lebih bekerja keras, memutar otak untuk tetap melanjutkan hidupnya dan keluarganya.

Akan tetapi gerakan perempuan sendiri mengalami perbedaan yang cukup mendasar dalam memandang momentum pemilu 2009, di bagian lain terdapat kelompok gerakan perempuan yang aktif mendorong perempuan berpolitik praktis dan memperjuangkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, namun di kelompok lainnya terdapat pandangan yang melihat bahwa jika masih dalam sistem demokrasi liberal maka kuota maupun keterwakilan perempuan seperti apapun tetap tidak akan menjadi faktor pengubah dominan karena tetap akan berhadapan dengan sistem yang meminggirkan perempuan.

Bagi perempuan umumnya, politik adalah urusan laki-laki dan menurut perempuan politik itu keras sehingga perempuan tidak perlu berpolitik. Pandangan-pandangan ini barangkali membuat perempuan tidak mau memasuki dunia poltik. Ketidakseimbangan antara jumlah perempuan dan laki-laki yang duduk dilegislatif terbukti dari fakta yang terjadi. Realita ini tidak hanya terjadi pada kelompok pengambil keputusan/public figure di tingkat di daerah namun juga terjadi di tingkat Pusat.

Jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR sangat sedikit. Bahkan mulai tahun 1992, dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang masuk dalam keanggotaan DPR terus menurun sampai sekarang. Pada Pemilu tahun 1992, perempuan yang duduk di DPR adalah sebesar 12,5%, tahun 1997 sebesar 10,8%, bahkan tahun 1999 sampai sekarang, jumlah perempuan yang masuk dalam keanggotaan DPR hanya mencapai 9 % dan baru pada pemilu 2004 keterwakilan perempuan sedikit bertambah yaitu 11,09% padahal jumlah pemilih perempuan mencapai 51%. Angka 11,09% merupakan angka yang sangat sedikit untuk bisa mewakili perempuan dalam setiap kepentingan dan kebutuhannya. Sehingga perempuan yang memperjuangkan kaumnya sendiri di DPR semakin sedikit. Masih banyak kepentingan perempuan yang kurang mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan keputusan yang tentunya merugikan kaum perempuan sendiri.

Padahal reformasi politik Indonesia telah memberikan harapan besar bagi kaum perempuan yang selama ini terpasung hak politiknya. Upaya-upaya maksimal pemberdayaan perempuan telah dilakukan oleh pemerintah.. Dalam UU. Pemilu (UU No. 12/2003) pasal 65 menyebutkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Dan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia khususnya pasal 46 secara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan dalam politik, bunyi pasalnya yaitu “Sistem pemilihan umum, kapartaian, pemilihan anggota legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai dengan persyaratan yang ditentukan”

Masalah yang Menghalangi Perempuan Menjadi Anggota Parlemen
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif

Faktor pertama,berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen

Faktor kedua,berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki

Faktor Ketiga,berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen

Faktor Keempat,tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999

Faktor kelima,kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita. Sering dirasakan bahwa sungguh sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran yang non-partisan

Fakto keenam,yaitu faktor keluarga. Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan-hambatan tertentu, khususnya persoalan izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan mereka dan aktifitas tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan penyediaan waktu dan uang yang besar, dan banyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara finansial. Pengecualian terjadi ketika kaum perempuan mendapat jabatan-jabatan yang dianggap menguntungkan secara finansial, seperti terpilih menjadi anggota legislatif

Faktor ketujuh,yaitu Sistem multi-partai. Besarnya jumlah partai politik yang ikut bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi di parlemen mempengaruhi tingkat representasi perempuan, karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah kursi yang terbatas itu diantara laki-laki, yang mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat representasi perempuan.
Pertanyaan yang muncul sekarang ini adalah bagaimana menghadapi tantangan, tugas dan kepercayaan sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh negara. Oleh karena itu, peningkatan kualitas perempuan perlu mendapatkan perhatian yang serius.

Ada beberapa agenda yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan kualitas dan partisipasi perempuan dalam politik, sebagai berikut

Pertama, meningkatkan kesadaran dan kualitas perempuan melalui usaha-usaha pendidikan

Kedua,memperkuat partisipasi perempuan yang duduk di elite politik, diharapkan turut menentukan segala kebijakan khususnya tentang keterlibatan perempuan di segala sektor pembangunan bukan hanya menjadi obyek pembangunan semata

Ketiga,perlunya sikap arif dan terbuka dari masyarakat untuk memposisikan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Karena kultur budaya yang selama ini telah berurat berakar mengukuhkan bahwa perempuan sebagai second person yang menyebabkan wilayah perempuan hanya terbatas di wilayah domestik saja. (sumur, dapur dan kasur). Selain itu adanya pemahaman keagamaan yang keliru yang menganggap perempuan adalah obyek laki-laki. Padahal bagi Allah, laki-laki dan perempuan adalah sama dan sederajad, yang membedakan antara keduanya adalah ketakwaannya saja

Keempat,melibatkan perempuan dalam aktivitas politik dengan memberikan berbagai kemudahan bagi perempuan untuk memasuki dunia politik, sehingga perempuan tidak terisolasi dalam dunia politik.

Dan kelima,upaya sosialisasi perspektif gender kepada masyarakat luas baik dikalangan laki-laki maupun dikalangan perempuan sendiri perlu dilakukan secara terus menerus. Dengan demikian masyarakat perempuan mengetahui hak-haknya baik dalam kehidupan sosial maupun politiknya. Jaringan komunikasi dengan pihak luar juga perlu ditingkatkan untuk membuka wacana pemberdayaan sehingga memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang eksistensi perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam politik dengan jumlah yang seimbang dengan laki-laki, memerlukan proses yang sangat panjang. Semua ini memerlukan perjuangan yang panjang dan semangat tidak kenal menyerah. Respon dan keterlibatan seluruh potensi masyarakat sangat diperlukan. Karena, hambatan, ancaman, rintangan dan tantangan baik dari dalam maupun dari luar akan selalu turut mewarnai proses transisi menuju kesetaraan dan keadilan gender. Untuk itu perlu strategi tersendiri dari kaum perempuan. Dan dengan adanya paradigma baru tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam UU 22/1999 tentang otonomi daerah memberikan harapan besar dari kaum perempuan untuk bisa andil dan berperan aktif dalam pembangunan dengan menekankan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Strategi Meningkatkan Representasi Perempuan
  1. Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan: Di Indonesia, saat ini ada beberapa asosiasi besar organisasi perempuan. Misalnya, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) adalah federasi dari 78 organisasi wanita, yang bekerjasama dengan perempuan dari berbagai agama, etnis, dan organisasi profesi berbeda. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) adalah sebuah federasi dari sekitar 28 organisasi wanita Muslim. Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan adalah sebuah jaringan organisasi yang mengabaikan kepartaian, agama, dan profesi dan meliputi kira-kira 26 organisasi. Semua jaringan ini memiliki potensi penting untuk mendukung peningkatan representasi perempuan di parlemen, baik dari segi jumlah maupun kualitas jika mereka dan organisasi anggota mereka bekerjasama menciptakan sebuah sinergi usaha. Pengembangan jaringan-jaringan organisasi wanita, dan penciptaan sebuah sinergi usaha, penting sekali untuk mendukung perempuan di parlemen, dan mereka yang tengah berjuang agar terpilih masuk ke parlemen

  2. Meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai politik: Mengupayakan untuk menduduki posisi-poisisi strategis dalam partai, seperti jabatan ketua dan sekretaris, karena posisi ini berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai

  3. Melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik : Ini perlu dalam upaya menciptakan kesadaran tentang pentingnya mengakomodasi perempuan di parlemen, terutama mengingat kenyataan bahwa mayoritas pemilih di Indonesia adalah wanita

  4. Membangun akses ke media: Hal ini perlu mengingat media cetak dan elektronik sangat mempengaruhi opini para pembuat kebijakan partai dan masyarakat umum

  5. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui pendidikan dan pelatihan: Ini perlu untuk meningkatkan rasa percaya diri perempuan pada kemampuan mereka sendiri untuk bersaing dengan laki-laki dalam upaya menjadi anggota parlemen. Pada saat yang sama, juga perlu disosialisasikan konsep bahwa arena politik terbuka bagi semua warganegara, dan bahwa politik bukan arena yang penuh konflik dan dan intrik yang menakutkan

  6. Meningkatkan kualitas perempuan: Keterwakilan perempuan di parlemen menuntut suatu kapasitas yang kualitatif, mengingat bahwa proses rekrutmen politik sepatutnya dilakukan atas dasar merit sistem. Peningkatan kualitas perempuan dapat dilakukan, antara lain, dengan meningkatkan akses terhadap fasilitas ekonomi, kesehatan dan pendidikan

  7. Memberikan kuota untuk meningkatkan jumlah anggota parlemen perempuan: Saat ini sedang dibahas rancangan undang-undang politik, yang di dalamnya diharapkan dapat dicantumkan secara eksplisit besarnya kuota untuk menjamin suatu jumlah minimum bagi anggota parlemen perempuan

Kesimpulan
Hal yang lebih penting untuk dilakukan kaum perempuan dalam memandang pesta demokrasi, momentum politik pemilu 2009 nanti adalah:
  1. Konferensi gerakan yang mengamanatkan gagasan dan tuntutan politik (terutama terkait dengan isu politik perempuan) yang harus dimenangkan

  2. Pendidikan politik kepada calon pemilih tentang perubahan politik yang bisa menghapuskan situasi penindasan perempuan yang memungkinkan calon pemilih membuat “pilihan yang tepat” dalam momentum pemilu 2009

  3. Sinergi kelompok perempuan dengan elemen gerakan sosial lainnya agar semua yang dilakukan oleh para politisi perempuan itu tidak mengalami keterputusan dari tingkat basisnya


Lampiran
Pasal-pasal penting terkait keterwakilan Perempuan dalam Hasil Revisi UU Partai Politik, yang kemudian dicantumkan menjadi UU No. 2 tahun 2008
  1. Bab II: Pembentukan Partai Politik Ayat (2): Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan

  2. Bab V: Tujuan dan Fungsi Ayat (1) bagian e: Rekruitment politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender

  3. Bab IX: Kepengurusan Pasal 20: Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing

  4. Bab XIII: Pendidikan Politik Pasal 31, isinya tentang pendidikan politik oleh partai politik hendaknya tetap memperhatikan 30% keterwakilan perempuan agar dapat mengimbangi adanya permintaan kesetaraan dibidang kepengurusan dan rekruitmen lain sehingga tersedia SDM perempuan yang secara kuantitas dan kualitas terpenuhi

  5. Bab XX: Ketentuan Peralihan Pasal 51 ayat (1): Partai Politik yang menurut UU No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri tetap diakui keberadaannya

Selasa, 13 Mei 2008

Dakwah Islam dan Keberpihakan HMI Dalam Perubahan Sosial

Pengantar
Dakwah merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus “diluruskan” agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi “penyakit” kolektif. Masyarakat harus dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain. Realitas sosial memang selalu membutuhkan tuntunan spiritual agar sejalan dengan petunjuk Tuhan.
Kaum Muslim, sejak Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah Islam hingga zaman modern ini, telah dijadikan sebagai umat terbaik karena peran mereka dalam perubahan sosial. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS Al-Imran [3]:110).
Ayat 110 surat Ali Imran di atas, menurut Kuntowijoyo memiliki tiga dimensi nilai, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia. Hal ini seiring dengan dehumanisasi karena laju masyarakat industrial, di mana masyarakat berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Liberasi bertujuan untuk membebaskan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan. Sedangkan transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
Dengan konsep ISP, Kunto berobsesi untuk melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga dari wahyu. Atas dasar itu, Kuntowijoyo kemudian merumuskan apa yang disebut sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP merupakan salah satu dari sekian banyak pemikiran dan gagasan keislaman Kunto. Menurutnya, ilmu sosial ini tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu ini tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. ISP secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat, yaitu: humanisasi, liberalisasi, dan transendensi.
Karena konsep ISP itu, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (1995) memasukkan Kunto ke dalam kategori pemikiran “Islam Transformatik”. Yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu, Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar. Secara praksis, transformasi ini bukanlah pada aspek-aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lain sebagainya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Konsep Dakwah dan Perubahan Sosial
Menurut Sayyid Qutb, umat Islam harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan, karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan. Karena itu, kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar.
Inilah kewajiban mereka sebagai konsekwensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Menempati posisi khairu ummah (sebaik-baik umat) bukanlah karena berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan, dan serampangan. Posisi ini adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaaran dan menegakkannya di atas yang makruf disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang makruf dan mana yang munkar itu. Kegiatan itu harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan terhadap tata nilai dan untuk mengetahui dengan benar mengenai yang makruf dan yang munkar. (Tafsir fi Zhilalil Qur’an, II: 128).
Amar makruf nahi munkar merupakan proyek jangka panjang kaum Muslim, karena kehidupan dunia ini tak akan bebas dari kemunkaran serta manusia pun tak akan sempurna melakukan kebajikan. Selama dunia ini berputar, maka selama itu pula kemunkaran berlangsung dan manusia tak akan pernah sempurna berbuat kebaikan. Diutusnya para nabi dan rasul yang misi dakwahnya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran membuktikan bahwa kemunkaran akan terus menyelimuti perilaku masyarakat dan baiknya perilaku masyarakat senantiasa memerlukan peringatan dan pembinaan.
Para dai harus menyadari bahwa dakwah memerlukan kesabaran. Mereka tak perlu terlalu berambisi agar masyarakat semua Islam dan baik beragamanya. Mereka hanya bertugas untuk menyampaikan risalah Islam yang mereka yakini kebenarannya. Dakwah harus digunakan sebagai cara melakukan transformasi sosial (perubahan sosial). Oleh karena itu, para dai harus memiliki komitmen dan semangat yang terus bergelora dalam menyuarakan kebenaran. Tanpa harus memaksa orang untuk ikut ajakannya, seorang dai dituntut menjaga kesucian hatinya.
Dalam aktivitas perubahan sosial itu, memang tidak semua audien atau sasaran dakwah bisa menerima dengan lapang dada. Kelompok yang menentang atau berusaha menghambat dakwah adalah mereka yang benci terhadap Islam atau yang masih “keras hatinya”, terutama dari kalangan konglomerat. Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS Al-Isra [17]: 16).
“Orang-orang yang hidup mewah” ini bisa dari kalangan pejabat negara atau para elit swasta. Mungkin dalam konteks Indonesia, yang dimaksud adalah pejabat korup dan konglomerat hitam yang dengan sengaja memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat demi meraup keuntungan pribadi dan kroninya. Perilaku elit ini bukan hanya menjadi tantangan para dai yang hanya mengandalkan suara moral, tetapi juga aparat penegak hukum. Mereka inilah tantangan paling berat yang dihadapi para dai dalam menjalankan misinya. Menghadapi kelompok ini, para dai dituntut untuk siap berkorban, baik jiwa, raga, maupun harta dengan sampainya ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, diperlukan figur dai yang mempunyai semangat jihad tinggi; mereka siap menghadapi segala resiko di medan perjuangan serta konsisten menyampaikan kebenaran.
Jika kita mengacu pada rumusan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, tampaknya misi dakwah Islam dengan segala tantangan yang dihadapinya bertujuan untuk “memulihkan sisi-sisi dasar manusia yang paling hakiki”. Artinya, perilaku-perilaku manusia yang menyimpang dari aturan-aturan Islam bukan hanya “menodai” dirinya, tetapi juga akan mengganggu hak-hak asasi orang lain. Penegasan Al-Quran mengenai “orang-orang yang hidup mewah” baik dari kalangan pejabat maupun swasta, sebagai tantangan dakwah sangat logis, mengingat gerakan langkah mereka yang serakah akan merampas hak-hak yang lain.
Dengan demikian, dalam kegiatan dakwah, para dai tidak cukup hanya menyampaikan ajaran Islam di atas mimbar, tetapi mereka harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan dan semangat moral atas problem hidup yang mereka hadapi. Mereka juga harus berani mengatakan kebenaran terhadap para penguasa yang zalim dan pengusaha yang serakah agar kembali ke jalan yang benar. Sebab, kezaliman dan keserakahan itu akan merusakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dakwah yang harus dilakukan adalah dakwah humanis sebagai kegiatan dakwah yang berorientasi pada perlindungan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia, dan pada saat yang sama, nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, serta kebebasan dapat tegak. Dalam dakwah yang humanis, seorang dai tidak cukup hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan

Keberpihakan HMI
Adalah Eric Hobsbawm yang meyakini bahwa semua gerakan sosial (termasuk gerakan keagamaaan) yang terdapat saat ini lahir atas respon dari kondisi sosial yang menindas. Hal ini diungkapkan Hobsbawm melalui hasil penelitiannya tentang gerakan sosial yang dipublikasikan dalam buku Primitive Rebels: Studies in the Arabic Forms of Sosial Movement in the Nineteenth and Twenteth Centuries (1971). Dalam hal ini kemunculan HMI sebagai gerakan mahasiswa berangkat dari iklim sosial dan budaya yang berbeda yang secara perlahan menjadi perlawanan.
Perubahan sosial merupakan fenomena sejarah dan peradaban yang semakin mempertegas posisi individu sehingga sering harus berhadapan dengan pelembagaan modern. Hubungan individu dengan masyarakat sebagai lembaga pun semakin rumit. Demikian pula hubungan kader HMI dengan HMI secara kelembagaan. Kompleksitas demikian akan berkaitan dengan masalah kebangsaan dan kemanusiaan global serta berbagai bidang budaya, iptek, sosial, ekonomi dan politik serta religiusitas.
Persoalannya tidak terbatas bagaimana menyelenggarakan kepentingan HMI dan individu sekaligus, tetapi bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan individual sebagai basis gerakan HMI. Dimasa depan hubungan HMI dan kenegaraan serta kemasyarakatan akan lebih terbuka. Sementara tuntutan kualitas individu warga terutama kader HMI menjadi landasan penyelesaian persoalan obyektif hidup modern dengan segala persyaratan profesional khususnya dunia kerja dan kemanusiaan.
Searah dengan kerangka teoritis masyarakat modern dan berkemajuan partisipasi individu dalam kehidupan masyarakat dan organisasional kelembagaan akan semakin kritis. Partisipasi kritis tidak saja bersifat eksternal, tetapi juga dalam hubungan lembaga kemasyarakatan secara internal serta dalam kehidupan negara bangsa indonesia. Kecenderungan demikian sering mengancam basis fundamental eksistensi kelembagaan, sementara daya kritis individu merupakan basis fundamental kehidupan masyarakat yang semakin kokoh. Persoalan kehidupan masa depan adalah bagaimana mengembangkan suatu kerangka teoritis yang lebih memberi peluang semakin luas pengembangan kualitas individu secara kritis dan terbuka.
Di masa depan, keberadaan dan kehidupan lembaga kemahasiswaan seperti HMI, memerlukan kebijakan intelektual sesuai kecenderungan masyarakatnya. Masa depan HMI tergantung sejauh mana kadernya baik secara kelembagaan maupun personal memanfaatkan peluang iptek dan perubahan masyarakat secara maksimal dengan mengembangkan kemampuan intelektual yang berwawasan kemanusiaan. Pemenuhan tanggungjawab demikian adalah merupakan realisasi operasional pesan moral ajaran Islam yang seluruhnya merupakan kepeduliaan pada masalah kemanusiaan. Karena itu kaderisasi harus dapat mengembangkan kualitas personal dan kelembagaan sekaligus.
Dalam kerangka kehidupan negara bangsa yang semakin terbuka dan global berbagai konsep dan strategi gerakan perlu ditinjau secara kritis. Perlu dikembangkan basis rasional (Paradigma) yang baru atas program dan strategi gerakan melalui pemikiran ulang yang kritis berbagai program yang dapat disusun secara konseptual, analitis dan fungsional. Kurang berkembangnya kegiatan alternatif dan kreatif yang mampu menggerakkan partisipasi seluruh lapisan pimpinan dan anggota perlu dipecahkan dengan mengembangkan sikap kritis terhadap tradisi dan pengembangan kemampuan profesional sesuai tuntutan obyektif yang dihadapi.
Secara teknis masalah kemanusiaan dan masyarakat bangsa hendaknya menjadi perhatian serius. Beberapa program mungkin dapat dikembangkan seperti; penyiapan kader memasuki pasaran kerja secara kompetitif dan profesional dalam berbagai ragam dunia usaha. Secara ideologis, kader intelektual HMI harus memiliki ketrampilan dakwah seperti membaca do’a, khutbah, tabligh dan manajemen gerakan yang minimal memerlukan kemampuan membaca Al-Qur’an.
Perlu lebih dikembangkan kegiatan secara terprogram agar seluruh anggota HMI dapat mengembangkan kualitas personal yang mampu menumbuhkan kewibawaan sosial. Berbagai ketrampilan kerja teknis harus menjadi program andalan disamping kemampuan memahami sumber ajaran Islam. Seperti juga pengembangan kemampuan dan ketrampilan menulis karya ilmiah, pengembangan jaringan pemasaran dan lain-lain. Seluruhnya dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya kader dalam berbagai bidang disiplin, sehingga dapat dikemas suatu program yang dapat membangkitkan minat anggota dan masyarakat untuk ikut serta.
Demikian pula pola rekruitmen dan kaderisasi dikembangkan lebih memberikan peluang bagi pengembangan intelektual dan ketrampilan teknologis. Untuk itu setidaknya diperlukan kemampuan penguasaan bahasa dan penguasaan kemampuan metodologis. Penguasaan bahasa merupakan alat memanfaatkan peluang yang luas dalam memenuhi keharusan sejarah mengembangkan intelektualitas, wawasan kebangsaan dan dunia serta peradaban. Selanjutnya perlu mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan hasil pemikiran baik secara verbal maupun amat penting menyampaikan hasil pemikiran melalui karya tulis. Akhirnya, kader HMI secara niscaya memerlukan kemampuan menganalisis berbagai bidang perkembangan kehidupan masyarakat baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya dan iptek disamping kemampuan profesional teknologis sebagai media memasuki dunia kerja secara kompetitif serta dunia sosial kemanusiaan.

Makalah ini disampaikan pada Latihan Kader II HMI di Depok, 28 Desember 2007

Rabu, 07 Mei 2008

PARADIGMA KEBERHIMPUNAN DAN PENAJAMAN ORIENTASI PEMUDA (KNPI)

KNPI sebagai payung berhimpunnya OKP-OKP yang ada diIndonesia, akan tumbuh dan berkembang dalam suatu proses dinamika organisasi yang mengandung pengertian bahwa dalam organisasi tumbuh sebuah proses dialektika yang tiada hentinya, sehingga proses yang bergulir selalu saja melahirkan iklim kepentingan terutama dalam setiap peluang yang ada.
Proses dialektika terkadang berjalan seirama dengan vested interest dari sebuah keinginan (need), sehingga dinamika sistem tetap saja menjadi pilar bagi tegaknya sebuah organisasi. Hal ini sangat dirasakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ketika mulai didirikan pada 23 Juli 1973 dengan landasan semangat berhimpun dan berkarya dikalangan organisasi kepemudaan.
Dalam kebijakan implementatif KNPI perlu mereposisi orientasi kerjanya sesuai dengan era reformasi yang tengah dihadapinya. Setidaknya visi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI, menjadi penuntun arah jalan yang ditujunya sampai tahun 2020, yakni: ”terwujudnya pemuda kualitas intelektual, moralitas dan keterampilan pemuda yang berwawasan kebangsaan dan memiliki daya saing untuk memberdayakan masyarakat dalam kompetisi global”.

Hakikat Keberhimpunan
Keberhimpunan secara plural sebagai hekikat dasar pendirian yang menjadi jati diri KNPI, adalah bagian dari kekayaan bangsa yang dimiliki organisasi ini dibanding sejumlah organisasi kemasyarakatan lainnya di negeri ini, apalagi yang menyatakan keberhimpunannya adalah organisasi kepemudaan, yaitu wadah pemberdayaan dari kelompok umur manusia yang tengah berada pada posisi strategis, yaitu kritis, dinamis dan bahkan cenderung agresif.
Maka dari itu, keberhimpunan yang sangat pluralis ini, jika tidak dikelola secara baik, justru akan bisa berbalik arah menjadi ancaman atas keutuhan KNPI itu sendiri. Dalam arti bahwa keberhimpunan secara eksponensial, bagai dua sisi mata uang, yaitu antara kekayaaan dan ancaman.Kekayaan dan ancaman, memang adalah bayang-bayang yang sudah demikian mestinya, selalu berdialektik mengikuti perjalanan KNPI. Dan diantara dua bayang itulah yang justru menjadi bagian dari proses pendewasaan, kearifan, dan sikap saling menghargai akan adanya keberbedaan, yang memungkinkan KNPI mampu mencipta lahirnya calon-calon pewaris masa depan yang berpemahaman nasionalis.
Mereka berbeda latar kekaderan yang mempengaruhi ragam cara pandang masing-masing, berbeda paham yang mempengaruhi ragam sikap, berbeda aliran yang melahirkan ragam karakter, perbedaan suku yang mempengaruhi ragam watak, perbedaan idiologi yang melahirkan ragam keyakinan, dan lainnya yang menjadi ragam warna pelangi yang indah dari “miniatur Indonesia” di KNPI.
Mereka tidak hanya dipersamakan dalam keragaman karena struktural vertikal organisasi KNPI secara kenegaraan (state), dari Sabang-Marauke, sampai pada tingkat kecamatan, bahkan tingkat desa dan kelurahan sekalipun, tetapi juga dipersamakan oleh keberhimpunan OKP secara horisontal kebangsaan (nation) atas keragaman latar kekaderan, paham, aliran, suku, bahkan idiologi sekalipun. Semuanya berjalan secara simultran, terkelola dalam manajemen sinergitas secara berdialektik, sehingga siapapun yang terlibat didalamnya akan mencoba menemukan jati dirinya diantara sekian yang membedakannya satu dengan yang lain.

Eksistensi Organisasi
Jika dicermati latar pendeklarasian berdirinya kelembagaan KNPI sebagai wadah komunikasi antar pemuda Indonesia, maka ada dua aspek yang ingin dicapai. Pertama, KNPI sebagai wadah berhimpun untuk merekatkan berbagai latar kepemudaan yang pluralis secara horisontal, yang berindikasi simbalik sebagai nation (kebangsaan). Dan kedua, sebagai wadah pemersatu pemuda Indonesia dari Sabang sampai Marauke secara vertikal, dalam arti state (kenegaraan). Keberhimpunan kelembagaan pemuda menjadi wujud ”roh” eksistensi KNPI, sekaligus persatuannya menjadi batang tubuh atas jasad KNPI.
Berdasar pada dua sudut pandang itulah seutuhnya eksistensi KNPI dapat diterjemahkan, selain sebagai wadah perekat pemuda Indonesia secara kebangsaan dalam makna kultural, sekaligus sebagai wadah pamersatu kenegaraan secara struktural, yang secara simbolik adalah bagian dari penjabaran nilai-nilai sumpah pemuda.
Hanya saja yang menjadi soal, karena seiring dengan arah baru kebijakan pembangunan nasional dalam kerangka otonomi daerah, tarik menarik dua sudut pandang eksistensi kelahiran KNPI, belum juga sanggup disepadankan untuk meregulasi format baku kelembagaan KNPI, setidaknya dari aspek struktur, mekanisme rekrutmen dan komposisi kepengurusannya.
Meskipun dalam Paradigma Baru KNPI telah dirumuskan perlunya pergeseran hirarkis kekuasaan dan kepemimpinan, dari sentralisasi ke desentralisasi, tetapi belum juga sanggup mereda paradigma sentralisitik organisatoris dibenak sejumlah komponen kepemudaan. Padahal sederhananya bahwa desentralisasi tidak dimaknai dalam aspek struktural tetapi secara fungsional.
Dalam arti bahwa demi efektifnya fungsi-fungsi kelembagaan, maka struktur sudah semestinya disesuikan dengan kebutuhan daerah. Dan demi untuk mengembalikan khittah keberhimpunan, maka harusnya mayoritas personalia pengurus adalah para wakil-wakil OKP secara eksponensial. Serta demi untuk menjaga kesinambungan sistem dan menjauhkan KNPI dari ekslusifisme, sehingga rekrutmen personalia kesinambungan dan potensi kepemudaan, adalah suatu yang juga tidak kalah mendesaknya
Bentangan pemikiran mereduksi eksistensi KNPI seperti itu, sesungguhnya bukanlah suatu keniscayaan, sebagaimana perkembangannya khususnya pada era orde baru dimana eksistensi KNPI selalu dipertanyakan, karena dianggap sudah terlanjur jauh keluar dari khittah pendeklarasian berdirianya. KNPI hanya menghimpun sekelompok elit pemuda saja, yang justru hanya menjadikan KNPI sebagai jembatan untuk mencapai ambisi kekuasaan, sehingga berbagai program kerjanya lebih bernuansa populis, yang jauh lebih unggul dari citra ketimbang dari yang sebenarnya.
KNPI tidak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga cenderung mengabaikan kepentingan pemuda dan OKP yang justru menjadi pilarnya.. Pada puncaknya di awal era reformasi, KNPI diteriakkan untuk dibubarkan saja.

Reposisi Peran
Orientasi pendirian KNPI sebagai medium komunikasi perekat dan pemersatu pemuda Indonesia, diperhadapkan pada dua sisi yang sangat ambivalen. Di satu sisi KNPI dituntut untuk dapat mengambil peran secara kelembagaan dalam berbagai problematika kemasyarakatan dan kenegaraan, sementara pada sisi yang lain KNPI dituntut untuk berposisi sebagai laboratorium kader untuk mempersiapkan lapis kader pewaris masa depan bangsa.
Dua sisi pandang itu, sampai saat ini sama kuat arusnya itu, sehingga wajar jika muncul sikap apatis dari sebagian kalangan terhadap banyaknya harapan yang ditimpakan kepada KNPI. Tidak saja datangnya dari masyarakat umum, tetapi juga dari OKP yang seharusnya menjadi “pemilik” dan menjadi roh atas batang tubuh kelembagaan KNPI, justru berbalik menjadi penggugat utama. Padahal sejak awal, Taufik Abdullah (LP3S : 1974) telah mempetakan dua sudut pandang itu, bahwa munculnya suatu generasi muda selain dilihat dari aspek demografis untuk mengisi suatu generasi baru dalam masyarakat, tetapi juga dilihat secara sosiologis dan historis sebagai subjek potensial bagi adanya suatu perubahan dinamis dalam lingkungan sosial kemasyaratan dan kenegaraan, sebagaimana sejarah panjang ke-Indonesia-an telah mengukirnya dengan tinta emas, mulai sejak tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 sampai dengan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998.
Bagi yang berpandangan demografis, lebih melihatnya secara strategis dalam perspektif jangka panjang, yaitu pada sisi subjek kepemudaan itu sendiri, bahwa setiap generasi muda adalah bagian dari keberlangsungan suatu regenerasi, sehingga ia adalah bagian dari investasi jangka panjang sebagai pewaris masa depan kelangsungan bangsa.
Untuk itulah sehingga KNPI pada hakekatnya diharapkan memainkan peranannya secara substansial untuk mampu melahirkan kader-kader potensial yang berwawasan kebangsaan dan memiliki tingkat daya saing tinggi. Sehingga sekian jumlah program KNPI diorientasikan pada aspek kaderisasi untuk lebih mengedepankan”proses” ketimbang ”hasil”, dengan indikator kualitatif bukan kuantitatif, atau pada aspek kultural bukan struktural, serta yang substantif bukan populis.
Sementara yang berpandangan sosiologis-historis, melihatnya pada konteks sasaran terhadap kondisi zaman kekinian yang sedang dihadapi, dan dalam hakekat kepemudaan sebagai agent of social change untuk berfungsi sebagai moral force, menuntut agar KNPI sanggup terlibat secara langsung dalam mengantisipasi berbagai problematika kemasyarakatan. Tuntutan seperti ini, sekaligus bermaksud untuk menepis tudingan yang dialamatkan ke KNPI yang sangat ekslusif, elitis dan ter-menaragading-kan, karena jauh dari realitas sosial yang dihadapinya. Pada saatnya, KNPI lambat laun akan terbawa dalam posisi yang semakin marginal, sebagaimana realitas menyatakan keberadaan KNPI di masa era orde baru yang dinilai tidak lebih bagian dari grand strategy skenario stabilitas nasional, untuk mewadahtunggalkan berbagai kelembagaan pemuda.

Revitalisasi Fungsi dan Peran
Tarik menariknya pandangan keberadaan generasi muda bersama kelembagaanya, antara aspek demografis di satu sisi, dan sosiologis-historis pada sini yang lain, tidak lebih kurang karena perbedaan jangkauan pandangan terhadap kemaslahatan bangsa. Yaitu antara yang berperspektif kebutuhan masa datang, dan antara yang terdesak pada problematika kemasyarakatan untuk kekinian. Bahwa keberadaan dan pemberdayaan suatu generasi, tidaklah serta merta diukur hasilnya pada saat sekarang ini, karena ia adalah bagian dari suatu proses, bukan pada hasil, sehingga program-program KNPI didesak untuk berorientasi untuk kebutuhan masa datang.
Pada saatnya ingin dimaknai bahwa revitalisasi fungsi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020, agar KNPI mampu menggerakan fungsi artikulator, dinamisator, fasilitator dan mediatornya untuk senantiasa menciptakan adanya ruang bebas untuk berkompetisi (free public spharee), yang memungkinkan segenap potensi kepemudaan dapat terefleksikan secara substantif dan orisinil atas adanya ruang bebas yang dimilikinya, sehingga segala aktifitas kepemudaan dan program KNPI akan lebih dimaknai learning by doing sebagai bagian dari proses kaderisasi itu sendiri, untuk berfungsi menjadi bagian pembelajaran yang sangat berharga (Lesson Learned).
Atas alur pemikiran seperti itulah semestinya paradigma tentang orientasi program kepemudaan dimaknai, dalam arti bahwa tanpa bermaksud mengabaikan paradigma dan desakan kuat dari banyak kalangan generasi muda agar KNPI mengorientasikan programnya pada soal-soal kemasyarakatan yang mendesak, tetapi yang lebih dikedepankan pada aspek kekaderannya. Bahwa yang menjadi tanggungjawab sosial pemuda dan kelembagaannya, sudah semestinya diperankan sebagaimana kebutuhannya, tetapi jauh lebih mengedepankan pada orientasi prosesnya, bukan pada orintasi hasilnya. Dan pada saatnya pulalah coba dimaknai revitalisasi peran yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020.

Penajaman Orientasi
Ada yang lebih penting dan substantive dari sekedar suksesi kepemimpinan dan pergantian pengurus di KNPI, yakni kejelasan orientasi pembangunan pemuda berikut organisasinya ke depan. Sehingga dengan demikian, keberadaan pemuda akan benar-benar terasa memiliki kontribusi positif bagi pembangunan bangsa secara utuh.
Begitu banyak persoalan yang membelit para pemuda hari ini. Mulai dari degradasi karakter kepemudaan, meredupnya kepemimpinan dan ketokohan, gersangnya kehidupan intelektual, semakin menurunnya peran sosial budaya pemuda, serta berbagai masalah sosial, budaya dan ekonomi yang juga tidak pernah lepas dari kehidupan para pemuda. Hal ini kiranya patut menjadi PR besar kita. Karena bagaimana pun pemuda adalah aset yang di tangannyalah masa depan bangsa digantungkan.
Saat ini kita membutuhkan semacam format pembangunan pemuda secara Nasional yang harus menjadi prioritas kita sehingga pembangunan pemuda akan memiliki kejelasan arah dan akan ada proses pembangunan dan gerakan yang berkelanjutan. Diakui atau tidak, selama ini belum terlihat konsep yang jelas dalam pembangunan pemuda berikut keterarahan gerakannya. Kita butuh reorientasi dan penajaman orientasi itu dari pemuda sendiri, sehingga kerja akan lebih fokus.
Bergulirnya reformasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Perubahan yang terjadi itu hendaknya mendorong kita untuk juga dinamis dan cerdas dalam membaca realitas zaman, termasuk para pemuda tentunya. Kita tidak mungkin memakai paradigma lama dalam melakukan pembangunan hari ini. Apalagi KNPI yang notabene lahir di zaman orde baru (Orba) dan sudah menjadi rahasia umum kalau di zaman Orba KNPI disebut-sebut sebagai salah satu perangkat kepentingan kekuasaan. Wallahu’alam, kita tidak perlu memperdebatkan itu lagi.
Dengan kecerdasan membaca realitas zaman kita diharapkan akan lahir dan bergerak dengan paradigma baru, orientasi baru, orang-orang baru dan cita-cita yang baru. Sehingga dengannya akan lahirlah KNPI yang juga bisa dimaknai semua pihak sebagai KNPI baru, walaupun dari segi nama dan simbol-simbol lainnya masih memakai yang lama. Otonomi daerah adalah salah satu produk “era baru”. Era otonomi menuntut kearifan dan kreatifitas lokal yang juga lebih. Kran desentralisasi yang sudah terbuka itu hendaknya bisa kita jawab dengan konsep yang matang dan keterarahan gerak. Dalam hal pembangunan pemuda, hendaknya kita bisa memamfaatkan momentum ini untuk melahirkan pemuda-pemuda berkualitas dengan tetap berbasis pada potensi lokal. Yaitu pemuda-pemuda yang tumbuh dan besar menjadi mutiara bangsa dengan karakteristik serta keunikan lokal yang dimilikinya.
Pemuda-pemuda mesti dibangun dengan potensi dan perangkat daerah yang dimiliki, baik perangkat moril maupun materilnya. Dimana, dengan itu mereka terus tumbuh besar dan memiliki nilai lebih pada level yang lebih luas dengan kekhasan-kekhasan yang berbasis lokal. Apalagi kita menyadari bahwa tidak akan mungkin satu daerah yang pasti memiliki potensi dan karakter tersendiri bisa disamakan dengan daerah lain. Walaupun dalam beberapa hal, studi perbandingan misalnya, hal itu bisa saja kita lakukan.
Pada pembentukan personality para pemuda, kita mesti terus merumuskan cara paling tepat untuk melahirkan pemuda yang memang secara seimbang kuat secara intelektual, spiritual dan emosional. Artinya, upaya-upaya sistematis yang akan melahirkan pemuda secara utuh sebagai “manusia pemuda” perlu terus digagas dan disempurnakan. Sehingga pemuda-pemuda akan lahir sebagai manusia paripurna yang akan mampu memainkan peran sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Dalam hal optimalisasi peran tidak kalah pentingnya. Lapangan peran pemuda yang terhampar luas mestilah bisa disadari pemuda untuk selanjutnya dibawa ke ranah agenda aksi nyata dengan prioritas-prioritas di dalamnya. Stagnasi dan kebuntuan pembangunan dan gerakan pemuda mesti ditemukan solusinya dengan aksi nyata pada berbagai sendi kehidupan yang ada di sekitar pemuda. Peran intelektual, kepemimpinan dan keteladan serta peran sosial kemasyarakatan adalah diantara peran yang mesti menjadi prioritas untuk dimainkan.
Pada tataran intelektual, sudah saatnya pemuda hari ini memiliki goal yang jelas serta memiliki agenda strategis dan realistis untuk dilaksanakan. Bahwa pendahulu kita adalah para intelektual-intelektual yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini adalah catatan sejarah yang tidak terbantahkan. Tapi sungguh demikian, hal itu tetap saja sejarah mereka. Maka hari ini tugas kita untuk melanjutkan sejarah dan episode kepahlawanan itu.
Kekayaan dan kematangan intelektual kita para pemuda hendaknya sudah bisa dibuktikan dengan karya-karya intelektual. Kapabilitas kita dalam berdikusi, membaca dan menulis yang didasari oleh kekayaan ide, pengetahuan dan pemikiran adalah diantara indikasinya. Karena hal tersebut akan sangat menentukan kapasitas intelektual kita para pemuda.
Maka oleh karenanya, kini yang dibutuhkan adalah bagaimana pengasahan dan pematangan intelektual itu dilakukan kemudian terus menuangkan gagasan-gagasan intelektual dengan cara membaca, berdiskusi dan menuliskannya. Pengadaan perpustakaan yang representatif di gedung pemuda, penuangan gagasan dan pemikiran di media cetak dan dengan penerbitan buku dari kalangan muda, barangkali perlu menjadi perhatian yang lebih dalam masalah ini.
Membangun karakter kepemimpinan untuk siap menjadi pemimpin dan teladan di tengah komunitas dan masyarakatnya juga perlu agenda yang kreatif dan inovatif. Perlu ada terobosan baru dalam masalah ini, sehingga tokoh dan pemimpin yang dilahirkan benar-benar orang yang siap memimpin dan tidak terlahir secara instan. Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan mengasah diri dalam aktivitas nyata di berbagai segmen kehidupan bermasyarakat, memprogram sekolah kepemimpinan kaum muda, di samping workshop kepemimpinan yang sering diangkatkan organisasi.
Pemuda memiliki ruang, kesempatan dan potensi yang sagat besar untuk melakukan semua itu. Kemunculan pemuda sebagai “penerang di tengah gulita” harus benar-benar nampak pada kehidupan fakta-faktanya. Semua ini membutuhkan pembelajaran yang sungguh-sungguh, komitmen yang tinggi serta konsistensi yang tidak mudah goyah. Sehingga tokoh muda dan pemimpin muda yang kita lahirkan tidak sekedar ditahu orang, tapi lebih dari itu, memang memiliki daya magnit yang kuat dan alamiah untuk bisa menjadi rujukan dan teladan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Peran sosial pemuda hari ini juga perlu ”digugat” oleh pemuda sendiri, jika memang kita menginginkan perbaikan dan kemajuan. Pemuda mesti menjadi subjek dalam upaya pemecahan berbagai masalah sosial dan pembangunan tatanan sosial kita. Pemuda tidak bisa hanya menjadi penonton atau pengikut dan memainkan peran sosial hanya sebagai upaya untuk membuktikan bahwa pemuda masih ada. Tapi lebih dari itu, pemudalah yang semestinya menentukan kemana dan seperti apa tatanan sosial ini akan dibangun dan merekalah yang selalu berada di garda depan manakala masalah-masalah sosial bermunculan.
Kenyataan hari ini sungguh memprihatinkan. Pemuda seolah terkubur ketika aneka problema sosial muncul di depan mata. Ketika kita dirundung bencana, mulai dari bencana alam sampai bencana moral, pemuda malah nyaris tidak memainkan perannya. Kemana pemuda ketika ribuan orang korban bencana membutuhkan sentuhan tangan-tangan mereka? Kemana pemuda tatkala para anjal kian berkeliaran di jalanan? Kemana pemuda ketika bencana Aids, Narkoba dan pergaulan bebas tak henti melanda kita? Dan yang lebih parah lagi, ternyata dalam kondisi yang sakit, terkadang pemuda juga ikut berkontribusi dalam menyebar bibit-bibit penyakit sosial itu.
Keterarahan orientasi kerja dalam pembenahan organisasi juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan. Sinergisitas gerak semua organisasi pemuda sudah menjadi kebutuhan. Kita butuh langkah dan agenda yang saling bersinergi dan memiliki cita-cita yang sama. Jadi, ada muara yang ingin kita tuju bersama sebagai bukti bahwa kita memang berkarya dan bekerja bersama-sama.
Di tengah kondisi bangsa yang merangkak untuk bangkit dan masyarakat yang terus terjepit, tidak saatnya lagi kita terkotak-kotak atau tercerai-berai hanya menjadi elemen-elemen kecil organisasi pemuda. Keanekaragaman karakter dan berbagai latar belakang organisasasi pemuda mestilah mampu kita ikat menjadi sebuah kekuatan yang melahirkan energi besar menggapai cita-cita pemuda dan bangsa. Dan kesuksesan KNPI akan sangat ditentukan oleh bagaimana KNPI bisa menggerakkan segenap organisasi kepemudaan yang bernaung di bawahnya.
Selain itu, membangun jaringan, kemitraan, aliansi gerakan dan koalisi konstruktif dengan seluruh elemen bangsa dan masyarakat dalam rangka menggapai cita-cita kebangsaan juga mesti menjadi agenda organisasi seperti KNPI. KNPI tentu sangat berpeluang membuat jejaring organisasi pemuda serta memfasilitasi para pemuda dan organisasinya untuk mengoptimalkan peran kepemudaan mereka.
Begitu banyak yang mesti kita perbuat dan terus diperbaiki di tengah keterbatasan kita dan parahnya kondisi. Sungguh demikian, kita, terutama para pemuda tentu akan terus optimis dan yakin, bahwa hari depan pasti akan lebih baik dan akan menjadi milik kita. Semangat juang, komitmen, karya dan konsistensi akan sangat menentukan nasib kita dan bangsa ini ke depan.

Catatan :
KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI. Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi. Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.

Makalah ini disampaikan oleh Saleh La Ela, dalam forum internal KNPI pada acara “Temu Wicara Peningkatan Kesadaran Berkonstitusi Bagi Tokoh Pemuda se Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPP KNPI bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI pada tanggal 25-27 April 2008 di Hotel Sultan Jakarta