Rabu, 07 Mei 2008

PARADIGMA KEBERHIMPUNAN DAN PENAJAMAN ORIENTASI PEMUDA (KNPI)

KNPI sebagai payung berhimpunnya OKP-OKP yang ada diIndonesia, akan tumbuh dan berkembang dalam suatu proses dinamika organisasi yang mengandung pengertian bahwa dalam organisasi tumbuh sebuah proses dialektika yang tiada hentinya, sehingga proses yang bergulir selalu saja melahirkan iklim kepentingan terutama dalam setiap peluang yang ada.
Proses dialektika terkadang berjalan seirama dengan vested interest dari sebuah keinginan (need), sehingga dinamika sistem tetap saja menjadi pilar bagi tegaknya sebuah organisasi. Hal ini sangat dirasakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ketika mulai didirikan pada 23 Juli 1973 dengan landasan semangat berhimpun dan berkarya dikalangan organisasi kepemudaan.
Dalam kebijakan implementatif KNPI perlu mereposisi orientasi kerjanya sesuai dengan era reformasi yang tengah dihadapinya. Setidaknya visi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI, menjadi penuntun arah jalan yang ditujunya sampai tahun 2020, yakni: ”terwujudnya pemuda kualitas intelektual, moralitas dan keterampilan pemuda yang berwawasan kebangsaan dan memiliki daya saing untuk memberdayakan masyarakat dalam kompetisi global”.

Hakikat Keberhimpunan
Keberhimpunan secara plural sebagai hekikat dasar pendirian yang menjadi jati diri KNPI, adalah bagian dari kekayaan bangsa yang dimiliki organisasi ini dibanding sejumlah organisasi kemasyarakatan lainnya di negeri ini, apalagi yang menyatakan keberhimpunannya adalah organisasi kepemudaan, yaitu wadah pemberdayaan dari kelompok umur manusia yang tengah berada pada posisi strategis, yaitu kritis, dinamis dan bahkan cenderung agresif.
Maka dari itu, keberhimpunan yang sangat pluralis ini, jika tidak dikelola secara baik, justru akan bisa berbalik arah menjadi ancaman atas keutuhan KNPI itu sendiri. Dalam arti bahwa keberhimpunan secara eksponensial, bagai dua sisi mata uang, yaitu antara kekayaaan dan ancaman.Kekayaan dan ancaman, memang adalah bayang-bayang yang sudah demikian mestinya, selalu berdialektik mengikuti perjalanan KNPI. Dan diantara dua bayang itulah yang justru menjadi bagian dari proses pendewasaan, kearifan, dan sikap saling menghargai akan adanya keberbedaan, yang memungkinkan KNPI mampu mencipta lahirnya calon-calon pewaris masa depan yang berpemahaman nasionalis.
Mereka berbeda latar kekaderan yang mempengaruhi ragam cara pandang masing-masing, berbeda paham yang mempengaruhi ragam sikap, berbeda aliran yang melahirkan ragam karakter, perbedaan suku yang mempengaruhi ragam watak, perbedaan idiologi yang melahirkan ragam keyakinan, dan lainnya yang menjadi ragam warna pelangi yang indah dari “miniatur Indonesia” di KNPI.
Mereka tidak hanya dipersamakan dalam keragaman karena struktural vertikal organisasi KNPI secara kenegaraan (state), dari Sabang-Marauke, sampai pada tingkat kecamatan, bahkan tingkat desa dan kelurahan sekalipun, tetapi juga dipersamakan oleh keberhimpunan OKP secara horisontal kebangsaan (nation) atas keragaman latar kekaderan, paham, aliran, suku, bahkan idiologi sekalipun. Semuanya berjalan secara simultran, terkelola dalam manajemen sinergitas secara berdialektik, sehingga siapapun yang terlibat didalamnya akan mencoba menemukan jati dirinya diantara sekian yang membedakannya satu dengan yang lain.

Eksistensi Organisasi
Jika dicermati latar pendeklarasian berdirinya kelembagaan KNPI sebagai wadah komunikasi antar pemuda Indonesia, maka ada dua aspek yang ingin dicapai. Pertama, KNPI sebagai wadah berhimpun untuk merekatkan berbagai latar kepemudaan yang pluralis secara horisontal, yang berindikasi simbalik sebagai nation (kebangsaan). Dan kedua, sebagai wadah pemersatu pemuda Indonesia dari Sabang sampai Marauke secara vertikal, dalam arti state (kenegaraan). Keberhimpunan kelembagaan pemuda menjadi wujud ”roh” eksistensi KNPI, sekaligus persatuannya menjadi batang tubuh atas jasad KNPI.
Berdasar pada dua sudut pandang itulah seutuhnya eksistensi KNPI dapat diterjemahkan, selain sebagai wadah perekat pemuda Indonesia secara kebangsaan dalam makna kultural, sekaligus sebagai wadah pamersatu kenegaraan secara struktural, yang secara simbolik adalah bagian dari penjabaran nilai-nilai sumpah pemuda.
Hanya saja yang menjadi soal, karena seiring dengan arah baru kebijakan pembangunan nasional dalam kerangka otonomi daerah, tarik menarik dua sudut pandang eksistensi kelahiran KNPI, belum juga sanggup disepadankan untuk meregulasi format baku kelembagaan KNPI, setidaknya dari aspek struktur, mekanisme rekrutmen dan komposisi kepengurusannya.
Meskipun dalam Paradigma Baru KNPI telah dirumuskan perlunya pergeseran hirarkis kekuasaan dan kepemimpinan, dari sentralisasi ke desentralisasi, tetapi belum juga sanggup mereda paradigma sentralisitik organisatoris dibenak sejumlah komponen kepemudaan. Padahal sederhananya bahwa desentralisasi tidak dimaknai dalam aspek struktural tetapi secara fungsional.
Dalam arti bahwa demi efektifnya fungsi-fungsi kelembagaan, maka struktur sudah semestinya disesuikan dengan kebutuhan daerah. Dan demi untuk mengembalikan khittah keberhimpunan, maka harusnya mayoritas personalia pengurus adalah para wakil-wakil OKP secara eksponensial. Serta demi untuk menjaga kesinambungan sistem dan menjauhkan KNPI dari ekslusifisme, sehingga rekrutmen personalia kesinambungan dan potensi kepemudaan, adalah suatu yang juga tidak kalah mendesaknya
Bentangan pemikiran mereduksi eksistensi KNPI seperti itu, sesungguhnya bukanlah suatu keniscayaan, sebagaimana perkembangannya khususnya pada era orde baru dimana eksistensi KNPI selalu dipertanyakan, karena dianggap sudah terlanjur jauh keluar dari khittah pendeklarasian berdirianya. KNPI hanya menghimpun sekelompok elit pemuda saja, yang justru hanya menjadikan KNPI sebagai jembatan untuk mencapai ambisi kekuasaan, sehingga berbagai program kerjanya lebih bernuansa populis, yang jauh lebih unggul dari citra ketimbang dari yang sebenarnya.
KNPI tidak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga cenderung mengabaikan kepentingan pemuda dan OKP yang justru menjadi pilarnya.. Pada puncaknya di awal era reformasi, KNPI diteriakkan untuk dibubarkan saja.

Reposisi Peran
Orientasi pendirian KNPI sebagai medium komunikasi perekat dan pemersatu pemuda Indonesia, diperhadapkan pada dua sisi yang sangat ambivalen. Di satu sisi KNPI dituntut untuk dapat mengambil peran secara kelembagaan dalam berbagai problematika kemasyarakatan dan kenegaraan, sementara pada sisi yang lain KNPI dituntut untuk berposisi sebagai laboratorium kader untuk mempersiapkan lapis kader pewaris masa depan bangsa.
Dua sisi pandang itu, sampai saat ini sama kuat arusnya itu, sehingga wajar jika muncul sikap apatis dari sebagian kalangan terhadap banyaknya harapan yang ditimpakan kepada KNPI. Tidak saja datangnya dari masyarakat umum, tetapi juga dari OKP yang seharusnya menjadi “pemilik” dan menjadi roh atas batang tubuh kelembagaan KNPI, justru berbalik menjadi penggugat utama. Padahal sejak awal, Taufik Abdullah (LP3S : 1974) telah mempetakan dua sudut pandang itu, bahwa munculnya suatu generasi muda selain dilihat dari aspek demografis untuk mengisi suatu generasi baru dalam masyarakat, tetapi juga dilihat secara sosiologis dan historis sebagai subjek potensial bagi adanya suatu perubahan dinamis dalam lingkungan sosial kemasyaratan dan kenegaraan, sebagaimana sejarah panjang ke-Indonesia-an telah mengukirnya dengan tinta emas, mulai sejak tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 sampai dengan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998.
Bagi yang berpandangan demografis, lebih melihatnya secara strategis dalam perspektif jangka panjang, yaitu pada sisi subjek kepemudaan itu sendiri, bahwa setiap generasi muda adalah bagian dari keberlangsungan suatu regenerasi, sehingga ia adalah bagian dari investasi jangka panjang sebagai pewaris masa depan kelangsungan bangsa.
Untuk itulah sehingga KNPI pada hakekatnya diharapkan memainkan peranannya secara substansial untuk mampu melahirkan kader-kader potensial yang berwawasan kebangsaan dan memiliki tingkat daya saing tinggi. Sehingga sekian jumlah program KNPI diorientasikan pada aspek kaderisasi untuk lebih mengedepankan”proses” ketimbang ”hasil”, dengan indikator kualitatif bukan kuantitatif, atau pada aspek kultural bukan struktural, serta yang substantif bukan populis.
Sementara yang berpandangan sosiologis-historis, melihatnya pada konteks sasaran terhadap kondisi zaman kekinian yang sedang dihadapi, dan dalam hakekat kepemudaan sebagai agent of social change untuk berfungsi sebagai moral force, menuntut agar KNPI sanggup terlibat secara langsung dalam mengantisipasi berbagai problematika kemasyarakatan. Tuntutan seperti ini, sekaligus bermaksud untuk menepis tudingan yang dialamatkan ke KNPI yang sangat ekslusif, elitis dan ter-menaragading-kan, karena jauh dari realitas sosial yang dihadapinya. Pada saatnya, KNPI lambat laun akan terbawa dalam posisi yang semakin marginal, sebagaimana realitas menyatakan keberadaan KNPI di masa era orde baru yang dinilai tidak lebih bagian dari grand strategy skenario stabilitas nasional, untuk mewadahtunggalkan berbagai kelembagaan pemuda.

Revitalisasi Fungsi dan Peran
Tarik menariknya pandangan keberadaan generasi muda bersama kelembagaanya, antara aspek demografis di satu sisi, dan sosiologis-historis pada sini yang lain, tidak lebih kurang karena perbedaan jangkauan pandangan terhadap kemaslahatan bangsa. Yaitu antara yang berperspektif kebutuhan masa datang, dan antara yang terdesak pada problematika kemasyarakatan untuk kekinian. Bahwa keberadaan dan pemberdayaan suatu generasi, tidaklah serta merta diukur hasilnya pada saat sekarang ini, karena ia adalah bagian dari suatu proses, bukan pada hasil, sehingga program-program KNPI didesak untuk berorientasi untuk kebutuhan masa datang.
Pada saatnya ingin dimaknai bahwa revitalisasi fungsi yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020, agar KNPI mampu menggerakan fungsi artikulator, dinamisator, fasilitator dan mediatornya untuk senantiasa menciptakan adanya ruang bebas untuk berkompetisi (free public spharee), yang memungkinkan segenap potensi kepemudaan dapat terefleksikan secara substantif dan orisinil atas adanya ruang bebas yang dimilikinya, sehingga segala aktifitas kepemudaan dan program KNPI akan lebih dimaknai learning by doing sebagai bagian dari proses kaderisasi itu sendiri, untuk berfungsi menjadi bagian pembelajaran yang sangat berharga (Lesson Learned).
Atas alur pemikiran seperti itulah semestinya paradigma tentang orientasi program kepemudaan dimaknai, dalam arti bahwa tanpa bermaksud mengabaikan paradigma dan desakan kuat dari banyak kalangan generasi muda agar KNPI mengorientasikan programnya pada soal-soal kemasyarakatan yang mendesak, tetapi yang lebih dikedepankan pada aspek kekaderannya. Bahwa yang menjadi tanggungjawab sosial pemuda dan kelembagaannya, sudah semestinya diperankan sebagaimana kebutuhannya, tetapi jauh lebih mengedepankan pada orientasi prosesnya, bukan pada orintasi hasilnya. Dan pada saatnya pulalah coba dimaknai revitalisasi peran yang termaktub dalam Paradigma Baru KNPI 2020.

Penajaman Orientasi
Ada yang lebih penting dan substantive dari sekedar suksesi kepemimpinan dan pergantian pengurus di KNPI, yakni kejelasan orientasi pembangunan pemuda berikut organisasinya ke depan. Sehingga dengan demikian, keberadaan pemuda akan benar-benar terasa memiliki kontribusi positif bagi pembangunan bangsa secara utuh.
Begitu banyak persoalan yang membelit para pemuda hari ini. Mulai dari degradasi karakter kepemudaan, meredupnya kepemimpinan dan ketokohan, gersangnya kehidupan intelektual, semakin menurunnya peran sosial budaya pemuda, serta berbagai masalah sosial, budaya dan ekonomi yang juga tidak pernah lepas dari kehidupan para pemuda. Hal ini kiranya patut menjadi PR besar kita. Karena bagaimana pun pemuda adalah aset yang di tangannyalah masa depan bangsa digantungkan.
Saat ini kita membutuhkan semacam format pembangunan pemuda secara Nasional yang harus menjadi prioritas kita sehingga pembangunan pemuda akan memiliki kejelasan arah dan akan ada proses pembangunan dan gerakan yang berkelanjutan. Diakui atau tidak, selama ini belum terlihat konsep yang jelas dalam pembangunan pemuda berikut keterarahan gerakannya. Kita butuh reorientasi dan penajaman orientasi itu dari pemuda sendiri, sehingga kerja akan lebih fokus.
Bergulirnya reformasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Perubahan yang terjadi itu hendaknya mendorong kita untuk juga dinamis dan cerdas dalam membaca realitas zaman, termasuk para pemuda tentunya. Kita tidak mungkin memakai paradigma lama dalam melakukan pembangunan hari ini. Apalagi KNPI yang notabene lahir di zaman orde baru (Orba) dan sudah menjadi rahasia umum kalau di zaman Orba KNPI disebut-sebut sebagai salah satu perangkat kepentingan kekuasaan. Wallahu’alam, kita tidak perlu memperdebatkan itu lagi.
Dengan kecerdasan membaca realitas zaman kita diharapkan akan lahir dan bergerak dengan paradigma baru, orientasi baru, orang-orang baru dan cita-cita yang baru. Sehingga dengannya akan lahirlah KNPI yang juga bisa dimaknai semua pihak sebagai KNPI baru, walaupun dari segi nama dan simbol-simbol lainnya masih memakai yang lama. Otonomi daerah adalah salah satu produk “era baru”. Era otonomi menuntut kearifan dan kreatifitas lokal yang juga lebih. Kran desentralisasi yang sudah terbuka itu hendaknya bisa kita jawab dengan konsep yang matang dan keterarahan gerak. Dalam hal pembangunan pemuda, hendaknya kita bisa memamfaatkan momentum ini untuk melahirkan pemuda-pemuda berkualitas dengan tetap berbasis pada potensi lokal. Yaitu pemuda-pemuda yang tumbuh dan besar menjadi mutiara bangsa dengan karakteristik serta keunikan lokal yang dimilikinya.
Pemuda-pemuda mesti dibangun dengan potensi dan perangkat daerah yang dimiliki, baik perangkat moril maupun materilnya. Dimana, dengan itu mereka terus tumbuh besar dan memiliki nilai lebih pada level yang lebih luas dengan kekhasan-kekhasan yang berbasis lokal. Apalagi kita menyadari bahwa tidak akan mungkin satu daerah yang pasti memiliki potensi dan karakter tersendiri bisa disamakan dengan daerah lain. Walaupun dalam beberapa hal, studi perbandingan misalnya, hal itu bisa saja kita lakukan.
Pada pembentukan personality para pemuda, kita mesti terus merumuskan cara paling tepat untuk melahirkan pemuda yang memang secara seimbang kuat secara intelektual, spiritual dan emosional. Artinya, upaya-upaya sistematis yang akan melahirkan pemuda secara utuh sebagai “manusia pemuda” perlu terus digagas dan disempurnakan. Sehingga pemuda-pemuda akan lahir sebagai manusia paripurna yang akan mampu memainkan peran sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Dalam hal optimalisasi peran tidak kalah pentingnya. Lapangan peran pemuda yang terhampar luas mestilah bisa disadari pemuda untuk selanjutnya dibawa ke ranah agenda aksi nyata dengan prioritas-prioritas di dalamnya. Stagnasi dan kebuntuan pembangunan dan gerakan pemuda mesti ditemukan solusinya dengan aksi nyata pada berbagai sendi kehidupan yang ada di sekitar pemuda. Peran intelektual, kepemimpinan dan keteladan serta peran sosial kemasyarakatan adalah diantara peran yang mesti menjadi prioritas untuk dimainkan.
Pada tataran intelektual, sudah saatnya pemuda hari ini memiliki goal yang jelas serta memiliki agenda strategis dan realistis untuk dilaksanakan. Bahwa pendahulu kita adalah para intelektual-intelektual yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini adalah catatan sejarah yang tidak terbantahkan. Tapi sungguh demikian, hal itu tetap saja sejarah mereka. Maka hari ini tugas kita untuk melanjutkan sejarah dan episode kepahlawanan itu.
Kekayaan dan kematangan intelektual kita para pemuda hendaknya sudah bisa dibuktikan dengan karya-karya intelektual. Kapabilitas kita dalam berdikusi, membaca dan menulis yang didasari oleh kekayaan ide, pengetahuan dan pemikiran adalah diantara indikasinya. Karena hal tersebut akan sangat menentukan kapasitas intelektual kita para pemuda.
Maka oleh karenanya, kini yang dibutuhkan adalah bagaimana pengasahan dan pematangan intelektual itu dilakukan kemudian terus menuangkan gagasan-gagasan intelektual dengan cara membaca, berdiskusi dan menuliskannya. Pengadaan perpustakaan yang representatif di gedung pemuda, penuangan gagasan dan pemikiran di media cetak dan dengan penerbitan buku dari kalangan muda, barangkali perlu menjadi perhatian yang lebih dalam masalah ini.
Membangun karakter kepemimpinan untuk siap menjadi pemimpin dan teladan di tengah komunitas dan masyarakatnya juga perlu agenda yang kreatif dan inovatif. Perlu ada terobosan baru dalam masalah ini, sehingga tokoh dan pemimpin yang dilahirkan benar-benar orang yang siap memimpin dan tidak terlahir secara instan. Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan mengasah diri dalam aktivitas nyata di berbagai segmen kehidupan bermasyarakat, memprogram sekolah kepemimpinan kaum muda, di samping workshop kepemimpinan yang sering diangkatkan organisasi.
Pemuda memiliki ruang, kesempatan dan potensi yang sagat besar untuk melakukan semua itu. Kemunculan pemuda sebagai “penerang di tengah gulita” harus benar-benar nampak pada kehidupan fakta-faktanya. Semua ini membutuhkan pembelajaran yang sungguh-sungguh, komitmen yang tinggi serta konsistensi yang tidak mudah goyah. Sehingga tokoh muda dan pemimpin muda yang kita lahirkan tidak sekedar ditahu orang, tapi lebih dari itu, memang memiliki daya magnit yang kuat dan alamiah untuk bisa menjadi rujukan dan teladan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Peran sosial pemuda hari ini juga perlu ”digugat” oleh pemuda sendiri, jika memang kita menginginkan perbaikan dan kemajuan. Pemuda mesti menjadi subjek dalam upaya pemecahan berbagai masalah sosial dan pembangunan tatanan sosial kita. Pemuda tidak bisa hanya menjadi penonton atau pengikut dan memainkan peran sosial hanya sebagai upaya untuk membuktikan bahwa pemuda masih ada. Tapi lebih dari itu, pemudalah yang semestinya menentukan kemana dan seperti apa tatanan sosial ini akan dibangun dan merekalah yang selalu berada di garda depan manakala masalah-masalah sosial bermunculan.
Kenyataan hari ini sungguh memprihatinkan. Pemuda seolah terkubur ketika aneka problema sosial muncul di depan mata. Ketika kita dirundung bencana, mulai dari bencana alam sampai bencana moral, pemuda malah nyaris tidak memainkan perannya. Kemana pemuda ketika ribuan orang korban bencana membutuhkan sentuhan tangan-tangan mereka? Kemana pemuda tatkala para anjal kian berkeliaran di jalanan? Kemana pemuda ketika bencana Aids, Narkoba dan pergaulan bebas tak henti melanda kita? Dan yang lebih parah lagi, ternyata dalam kondisi yang sakit, terkadang pemuda juga ikut berkontribusi dalam menyebar bibit-bibit penyakit sosial itu.
Keterarahan orientasi kerja dalam pembenahan organisasi juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan. Sinergisitas gerak semua organisasi pemuda sudah menjadi kebutuhan. Kita butuh langkah dan agenda yang saling bersinergi dan memiliki cita-cita yang sama. Jadi, ada muara yang ingin kita tuju bersama sebagai bukti bahwa kita memang berkarya dan bekerja bersama-sama.
Di tengah kondisi bangsa yang merangkak untuk bangkit dan masyarakat yang terus terjepit, tidak saatnya lagi kita terkotak-kotak atau tercerai-berai hanya menjadi elemen-elemen kecil organisasi pemuda. Keanekaragaman karakter dan berbagai latar belakang organisasasi pemuda mestilah mampu kita ikat menjadi sebuah kekuatan yang melahirkan energi besar menggapai cita-cita pemuda dan bangsa. Dan kesuksesan KNPI akan sangat ditentukan oleh bagaimana KNPI bisa menggerakkan segenap organisasi kepemudaan yang bernaung di bawahnya.
Selain itu, membangun jaringan, kemitraan, aliansi gerakan dan koalisi konstruktif dengan seluruh elemen bangsa dan masyarakat dalam rangka menggapai cita-cita kebangsaan juga mesti menjadi agenda organisasi seperti KNPI. KNPI tentu sangat berpeluang membuat jejaring organisasi pemuda serta memfasilitasi para pemuda dan organisasinya untuk mengoptimalkan peran kepemudaan mereka.
Begitu banyak yang mesti kita perbuat dan terus diperbaiki di tengah keterbatasan kita dan parahnya kondisi. Sungguh demikian, kita, terutama para pemuda tentu akan terus optimis dan yakin, bahwa hari depan pasti akan lebih baik dan akan menjadi milik kita. Semangat juang, komitmen, karya dan konsistensi akan sangat menentukan nasib kita dan bangsa ini ke depan.

Catatan :
KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI. Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi. Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.

Makalah ini disampaikan oleh Saleh La Ela, dalam forum internal KNPI pada acara “Temu Wicara Peningkatan Kesadaran Berkonstitusi Bagi Tokoh Pemuda se Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPP KNPI bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI pada tanggal 25-27 April 2008 di Hotel Sultan Jakarta